Menyusur Pecinan Tangerang

Senja di Cisadane, Kota Tangerang

Hayo siapa di sini yang anak Tangerang?

Dua minggu lalu, aku berkesempatan untuk jalan-jalan ke kota Tangerang. Banyak temen-temenku yang heran, wisata kok ke Tangerang? Emang ada wisata apaan di Tangerang? Tenang! Tenang! Mari aku ceritakan perjalananku di Tangerang yang luar biasa mencerahkan! 

Pertama-tama, ada di sini yang tahu asal-usul kota Tangerang?

Menurut artikel Sejarah Kota Tangerang dalam Live Tangerang Magazine, daerah Tangerang itu dulunya dikenal dengan sebutan Tanggeran, yang berasal dari bahasa Sunda, yaitu tengger dan perang. Kata 'tengger' memiliki arti 'tanda', yang merujuk pada tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Kesultanan Banten dan VOC sekitar pertengahan abad ke-17. Selain tugu, batas wilayah juga dipisahkan oleh Sungai Cisadane. Wilayah sisi barat merupakan kekuasaan kesultanan Banten. Sisi timur merupakan wilayah kekuasaan VOC. Baik Kesultanan Banten dan VOC, sama-sama mendirikan benteng pertahanan di pinggir sungai. Hal ini mengakibatkan wilayah Tangerang dikenal juga dengan istilah Benteng. Pada masa itu, VOC banyak merekrut tentara bayaran dari Madura dan Makassar. Tentara VOC dari Makassar biasanya tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut Tangeran dengan Tangerang. Dialek inilah yang diwariskan hingga kini.

Ngomong-ngomong soal Benteng, orang-orang Tionghoa Tangerang lazim disebut Cina Benteng. Hal ini memang berkaitan dengan lokasi tinggal mereka, yaitu di sekitaran Benteng VOC. Pasca Geger Pecinan 1740, orang-orang Tionghoa tidak lagi bebas memilih tempat tinggal. Belanda menempatkan orang-orang Tionghoa ke dalam ghetto-ghetto khusus, yang terpisah dari suku lainnya. Hal ini, merupakan bagian dari strategi Belanda untuk memecah-belah persatuan. Padahal, setidaknya sejak 1400an, orang-orang Tionghoa sudah hidup membaur dan kawin-mawin dengan penduduk Tangerang, yang sebagian besar terdiri dari suku Betawi, Sunda dan Banten. Hasil kawin mawin inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya kebudayaan baru: kebudayaan Cina Benteng.

Ada satu syair yang rasa-rasanya dapat menjelaskan dengan sangat baik tentang Cina Benteng. Judulnya Balada Seorang Lelaki di Nan Yang karya Wilson Tjandinegara (1996). Aku kutip syair tersebut dari buku Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang

Balada Seorang Lelaki di Nan Yang

Sejak abad lima belas
dengan perahu Jung
mereka arungi lautan ganas
larikan diri dari bencana dan malapetaka
tinggalkan negeri leluhur
mencari tanah harapan di Nan Yang (Kepulauan Selatan alias Nusantara)
Perkampungan nelayan di Teluk Naga
seorang encek pembuat arak
mengubur kesendiriannya
bersama seorang pendamping setia
gadis pribumi lugu sederhana
Kikuk seperti ayam dan itik
yang satu pakai sumpit
yang satu doyan sambel
dengan bahasa isyarat
berlayar biduk antar bangsa
beranak pinak dalam kembara
Dari generasi ke generasi
warna kulit makin menyatu
jadilah generasi persatuan:
'Cina Benteng'
teladan pembauran
Sungai Cisadane jadi saksi
perjalanan hidup kedua anak bangsa
bersama melwan penjajah Belanda
bergotong royong
terjalin persaudaraan sejati
seperti Cisadane terus mengalir
dari abad ke ke abad
menuju tanah air Indonesia

Dayung Perahu Naga

Cina Benteng ini punya banyak kebudayaan yang tiada duanya di kolong langit, karena menggabungkan lebih dari dua kebudayaan. Salah satu yang paling termasyhur adalah mendayung perahu naga atau yang lebih dikenal dengan istilah Peh Cun. Perahu naga inilah yang membuat aku datang ke Tangerang.

Menurut buku Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang, Peh Cun berasal dari kata Peh Liong Cun, yang artinya mendayung perahu naga. Perayaan Peh Cun di Tangerang diperkirakan dimulai sejak tahun 1902, dan mencapai titik puncaknya pada tahun 1960-1970an (sebelum rezim Orde Baru memberangus semua tradisi Tionghoa). Pada masa jayanya, Peh Cun di Tangerang mampu menarik perhatian wisatawan mancanegara, seperti dari Malaysia, Singapura, Hongkong hingga Taiwan. Bahkan, karena begitu tersohornya Peh Cun Tangerang, sampai-sampai kegiatan ini dibuatkan lagu yang berjudul Nonton Peh Cun. Lagu ini dipopulerkan oleh Lilis Surjani dan Suhaeri Mufty. Aku kutip sedikit lirik lagunya,

Waktu Peh Cun Tangerang ramai sekali
Siang malam orang enggak pernah sepi
Sambil berjalan-jalan melihat pemandangan
tua-muda enggak mau ketinggalan ...


Di Tiongkok, perayaan Peh Cun disebut juga Duan Wu yang berarti hari raya tengah hari. Pada hari tersebut, bumi akan mendapatkan sinar matahari terbanyak sepanjang tahun. Ada banyak cerita tentang asal-usul Peh Cun. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah tentang Qu Yuan, seorang menteri setia yang difitnah dan diusir dari ibu kota.

Kira-kira begini ceritanya. Pada masa dahulu kala, ada seorang menteri negara yang bernama Qu Yuan  (屈原) yang lahir pada 340 SM. Beliau adalah menteri negara Chu. Qu Yuan merupakan seorang menteri negara yang berbakat dan berintegritas tinggi, sehingga banyak pejabat korup yang iri dan ingin menyingkirkan Qu Yuan.

Qu Yuan hidup di masa negara berperang. Pada masa itu, ada tujuh kerajaan saling berperang, yaitu Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei dan Qin. Qu Yuan menyarankan agar Chu berkoalisi dengan Qi untuk membendung invasi dari Qin yang semakin hari semakin kuat. Saran tersebut ditolak oleh raja Chu yang lebih percaya pada menteri negara lain yang korup. Qu Yuan juga difitnah, dan akhirnya diasingkan dari ibu kota kerajaan. Kerajaan Chu pada akhirnya kalah perang dari kerajaan Qin. Qu Yuan yang merasa sedih karena tidak mampu mencegah runtuhnya negara Chu, memilih untuk bunuh diri dengan melompat ke sungai Mi Luo. 

Rakyat yang mengetahui Qu Yuan melompat ke sungai, langsung berusaha mencari jenazah Qu Yuan. Mereka membungkus nasi dengan daun dan melemparkannya ke sungai agar ikan-ikan menjadi kenyang, dan tidak mengganggu jenazah Qu Yuan. Nasi yang dibungkus daun ini sekarang kita kenal dengan istilah bakcang. Orang-orang yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga yang diadakan setiap tahunnya.

Saat ini, Peh Cun dikemas dalam balutan Festival Cisadane. Akhir Agustus lalu, baru saja diselenggarakan Festival Cisadane 2018 yang meriah sekali. Festival Cisadane 2018 dihelat di bantaran sungai Cisadane. Banyak atraksi yang ditampilkan dengan sangat apik sekali! 


Tiga Klenteng Tua di Tangerang

Selain nonton Peh Cun di Festival Cisadane 2018, aku juga menyempatkan diri untuk sembahyang di tiga klenteng tua di Tangerang, Boen Tek Bio (1684) di daerah Pasar Lama Kota Tangerang, Boen San Bio (1689) di daerah Pasar Baru Kota Tangerang, dan Boen Hay Bio (1694) di daerah Pasar Lama Serpong.

Ada banyak cerita unik dari ketiga klenteng yang diduga saling berhubungan ini. Menurut Agni Malagina dalam Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang, kemungkinan ada kaitan erat antara ketiga klenteng ini. Menurutnya, bila dilihat dari udara, maka seperti ada garis imajiner yang mencapai lebih dari 16 kilometer. 

Boen Tek Bio, kota Tangerang

Klenteng pertama yang aku singgahi tentu saja Boen Tek Bio yang tersohor itu. Letaknya ada di pusat Pasar Lama Kota Tangerang, bersisian dengan sungai Cisadane. Dugaanku, orang-orang Tionghoa zaman dulu, berlabuh di pesisir laut, lalu menyusuri sungai Cisadane dan mendirikan pemukiman. Lambat laun tempat itu berubah menjadi pasar yang ramai. Tidak susah bila ingin ke Boen Tek Bio, dari Stasiun Tangerang, tinggal berjalan kaki menuju Pasar Lama. Bila ragu, jangan sungkan untuk menanyakan arah ke pedagang pasar, pasti semuanya akan mengarahkan dengan benar.

Boen Tek Bio secara harfiah berarti Klenteng Kebajikan Benteng. Dewi Kwan Im menjadi tuan rumah klenteng ini. Selain Dewi Kwan Im, banyak juga dewa-dewi lain yang disembah di Klenteng Boen Tek Bio. Sebelumnya, aku sudah pernah ke Klenteng ini dua kali. Kunjungan dua minggu lalu, merupakan kunjunganku yang ketiga. Rasanya tetap sama, aku tetap merasa takjub dapat mengunjungi klenteng yang sudah berdiri sejak 1684 ini.

Boen San Bio, Pasar Baru, Kota Tangerang

Klenteng berikutnya yang aku singgahi adalah Klenteng Boen San Bio di daerah Pasar Baru Kota Tangerang. Klenteng ini juga bersisian dengan sungai Cisadane. Ini kali pertama aku ke Klenteng yang sudah berdiri sejak 1689 tersebut, dan aku sangat takjub karena klenteng ini begitu luas dan ada satu pendopo yang dikhususkan untuk makam Mbah Raden Surya kencana yang konon merupakan salah satu bangsawan dari Kesultanan Banten. Semula makam Mbah Raden Surya Kencana berada di dekat tepian sungai Cisadane, lalu dipindahkan ke dalam Klenteng karena takut makam tersebut tergerus oleh sungai dan pelebaran jalan.

Pendopo makam Mbah Raden Surya Kencana

Saat melihat pendopo Kramat Embah Raden Surya Kencana, aku jadi ingat Klenteng Nyai Ronggeng atau Vihara Bahtera Bahkti di Ancol yang di dalamnya ada patung Iboe Sitiwati, dan makam Mbah Areli Dato Kembang, seorang tokoh penyebar Islam di pesisir Jakarta. Aku teringat juga dengan Klenteng Gie Yong Bio di Lasem, yang di dalamnya terdapat patung Raden Panji Margono, priyayi Jawa yang sangat dihormati oleh orang Tionghoa di Lasem. 

Selain pendopo untuk makam Mbah Raden Surya Kencana, ada juga pendopo Peh Cun dan satu pendopo (yang sedang dibangun) untuk Dewi Kwan Im. Sebagai tuan rumahnya, ialah Hok Tek Ceng Sin atau dewa bumi. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagian besar Cina Benteng berprofesi sebagai petani yang hidup dari bumi.

Boen Hay Bio, Tangerang Selatan

Klenteng ketiga, Boen Hay Bio terletak agak jauh ke Selatan, yakni di sekitaran Pasar Lama Serpong, Tangerang Selatan. Klenteng ini melengkapi prinsip dasar Feng Shui yang berbunyi ada gunung ada lautan. Boen Tek Bio sebagai klenteng pusat telah memiliki klenteng pendamping Boen San Bio (yang secara harfiah berarti gunung kebajikan), maka diperlukan unsur lautan (Boen Hay Bio yang secara harfiah berarti lautan kebajikan).

Klenteng Boen Hay Bio bisa dibilang adalah yang paling unik. Bila biasanya di klenteng, kita akan menjumpai ornamen Naga atau burung Phoenix, di Boen Hay Bio, kita akan menemukan ornamen kepiting raksasa. Mungkin saja simbol kepiting ini untuk menguatkan unsur lautan. Selain itu, kepiting juga dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat. Tuan rumah klenteng Boen Hay Bio ialah Kong Kuan, dewa perang yang sangat dihormati karena integritasnya yang sangat tinggi.


Tiga Museum

Di Tangerang, ada tiga museum tentang orang Tionghoa di Indonesia, yakni Museum Benteng Heritage, Roemah Boeroeng Tangga Ronggeng, dan Museum Pustaka Peranakan Indonesia. Mari aku bawa keliling.

Salah satu sudut Museum Benteng Heritage. Sumber: Museum Benteng Heritage

Museum pertama yang aku sambangi adalah Museum Benteng Heritage yang terletak tak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama kota Tangerang. Museum ini didirikan oleh Bapak Udaya Halim dan diresmikan pada 11 November 2011. Museum ini menempati sebuah rumah yang diduga milik komunitas Tionghoa (bukan milik pribadi), dan diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke-17. Dugaan bahwa rumah tersebut milik komunitas karena ditemukan relief di tembok yang bercerita tentang perang tiga negara (Sam Kok). Biasanya relief-relief seperti itu hanya ada pada rumah komunitas. Pada tahun 2009, Bapak Udaya Halim membeli rumah tersebut dari keluarga Lau yang menempati rumah itu sejak tahun 1900an.

Relief Sam Kok di Museum Benteng Heritage

Museum Benteng Heritage terdiri dari dua lantai. Lantai pertama berfungsi sebagai ruang pertemuan dan dapur. Pengunjung yang ingin mengadakan acara di museum dapat menggunakan ruang pertemuan tersebut. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat meletakkan koleksi museum, yang sebagian besar merupakan sumbangan milik pribadi. Koleksi di Museum Benteng Heritage sangat lengkap, mulai dari perlengkapan pernikahan tradisi Cina Benteng, sampai meja judi yang sering digunakan oleh orang Tionghoa zaman dulu, serta ada pula koleksi cerita silat yang diterjemahkan oleh Oey Kim Tiang.

kronik Cheng Ho

Salah satu koleksi yang paling mewah (menurutku) adalah kronik tentang kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Tangerang. Kitab sejarah Sunda yang bertajuk "Tina Layang Parahyang" menjabarkan tentang terdamparnya rombongan dari Tiongkok di bawah pimpinan Cen Cie Lung (Halung) ke pesisir Tangerang pada 1407. Mereka lalu menghadap ke penguasa Tangerang saat itu untuk meminta bantuan. Penguasa Tangerang saat itu Sanghyang Anggalarang memberikan sebidang tanah dengan syarat gadis-gadis Tiongkok yang ikut dalam rombongan Halung harus menikah dengannya. Sebidang tanah itu saat ini dikenal dengan kampung Teluk Naga. Halung diyakini merupakan salah satu anak buah dari Laksamana Cheng Ho.

Museum Benteng Heritage buka setiap hari Selasa-Minggu, pukul 10.00-17.00. Pengunjung diharuskan membayar tiket sebesar dua puluh lima ribu rupiah, sudah termasuk layanan tour guide keliling museum sekitar 45-60 menit. Oh ya, karena museum terletak di tengah pasar, maka sebaiknya datang ke museum pada siang hari setelah kegiatan di pasar lengang. Di museum ini, disediakan juga oleh-oleh yang bisa dibeli. Ada kecap Benteng yang merupakan kecap kebanggaan warga Tangerang dan teh putih.

Roemah Boeroeng Tangga Ronggeng

Dari museum Benteng Heritage, kita jalan sedikit menuju ke Roemah Boeroeng Tangga Ronggeng (Roemboer). Roemboer ini masih satu manajemen dengan Museum Benteng Heritage. Sayangnya, saat ini, Roemboer belum terbuka untuk umum. Kalau mau masuk ke delam Roemboer mesti rombongan, minimal 10 orang, dan mesti info dulu ke pengelolanya dua minggu sebelumnya. Ayo kita ke sini ramai-ramai!

Info yang aku dapat dari tour guide Museum Benteng Heritage, di Roemboer juga terdapat banyak koleksi yang terkait dengan kehidupan peranakan Tionghoa di Tangerang. Nama Roemah Boeroeng digunakan karena dulunya bangunan ini merupakan sarang burung walet. Sedangkan istilah Tangga Ronggeng, karena di dekat situ ada tangga menuju ke sungai Cisadane, tempat penari Ronggeng menari.

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa

Museum ketiga letaknya agak jauh ke arah BSD. Museum Pustaka Peranakan Tionghoa terletak di ruko di belakang ITC BSD. Museum ini seperti peti harta karun. Di dalamnya ada banyak sekali kepustakaan terkait dengan orang Tionghoa di Indonesia. Sayangnya, pada saat aku datang ke sana, museumnya malah tutup. Aku belum beruntung sepertinya, tapi tidak mengapa. Walau belum berkesempatan masuk dan lihat langsung, aku sudah gabung dalam grup facebook museum ini, jadi setidaknya aku sudah punya bayangan tentang museum. Ini aku kutip sedikit ya tentang museum ini dari BBC Indonesia, "Azmi Abubakar, pemilik museum, mengatakan tak kurang dari 30.000 dokumen ada di tempat itu. Selain buku, terdapat koran, majalah, cerita, silat, komik dan foto-foto di museum tersebut..."  Wuaahhhhhh!

Selain ke klenteng, museum dan bersantai di pinggiran sungai Cisadane, salah satu kegiatan yang tak boleh terlewat adalah kulineran! Wohhhh! Kalau kulineran aku enggak cerita deh yaa, langsung aja cus ke pasar lama, pagi atau malam, sama ramainya dan sama enaknyaaaa!

Sekian dulu cerita aku dari Tangerang. Kalau kamu tahu tempat main yang asyik di Tangerang, tulis di kolom komentar yaaak!


Sumber:

Buku Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang (2016)
Sejarah Kota Tangerang di Majalah Live edisi Juni 2018
Artikel Qu Yuan
Artikel Qu Yuan - A Patriotic Poet of Warring States Period
Artikel Harta Karun Tersembunyi di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Artikel Museum Benteng Heritage

Bahan Bacaan:
Buku Peranakan Tionghoa di Nusantara (2012)
Buku Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng (2011)

Komentar

  1. Banyak sekali infox kak. Thankyuu:)

    BalasHapus
  2. baru tau saya,ternyata tangerang banyak sejarah yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa, tentu saja. Hanya saja, belom terlalu diketahui publik luas.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan