Perempuan dan Pekerjaan
![]() |
Perempuan memasuki ruang publik |
Tulisan ini merupakan ringkasan dari paperku yang
berjudul Perempuan dan Pekerjaan, yang aku kerjakan untuk ujian di Entention
Course Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Akhir-akhir ini ada wacana yang dilontarkan oleh Wakil
Presiden, Jusuf Kalla (JK) terkait dengan pengurangan jam kerja bagi perempuan.
JK mengusulkan agar pekerja perempuan dikurangi jam kerjanya 2 jam,
masing-masing 1 jam sebelum masuk dan saat mau pulang. Hal ini menurut beliau
semata-mata bertujuan agar peran Ibu dalam mengasuh anak dapat lebih optimal,
mengingat sekarang banyak sekali keluarga yang suami dan istri sama-sama
bekerja.
Ide ini pun langsung memantik pro dan kontra di
masyarakat. Pihak yang setuju sangat menyambut gagasan ini. Bagi mereka, sudah
sepatutnya perempuan menjadi aktor utama dalam mengasuh anak. Hal ini sesuai
dengan ideologi partriakhi yang ditanamkan sejak kecil, bahwasanya Laki-laki
bekerja di luar dan perempuan mengasuh anak di rumah.
Di pihak lain, banyak juga yang tidak setuju dengan
wacana ini. Gerakan feminis menilai pengurangan jam kerja bagi perempuan adalah
tindakan diskriminatif dan pembatasan ruang gerak perempuan di ruang publik.
Komnas Perempuan sebagai perekat gerakan perempuan menjadi yang terdepan menolak
gagasan ini. Komnas Perempuan, seperti yang dikutip dalam pernyataan resminya,
menilai semua usulan “merumahkan perempuan” mendasarkan diri pada
pemikiran yang kolot dan kaku tentang peran perempuan, sebagaimana dikukuhkan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perempuan dikerangkai untuk
menjadi ibu sebagai tugas utama dan menjadi pendamping suami. Karenanya,
perempuan bekerja dianggap sebagai sekedar pencari nafkah tambahan, yang
akibatnya tidak dihargai serupa dengan pekerja laki-laki dan juga keberhasilannya
dinilai dengan mempertanyakan perannya sebagai ibu dan istri di saat bersamaan.
Ini semua menyebabkan perempuan memikul beban berlipat ganda- di dalam dan di
luar rumah; perempuan dengan karier kerap dituding sebagai penyebab anak nakal
atau suami berpoligami. Padahal, pengasuhan anak dan merawat keluarga adalah
tugas, tanggung jawab, dan peran yang sebanding antara laki-laki/ayah dan
perempuan/ibu. Pembakuan peran pengasuhan pada perempuan, karenanya, merugikan
bukan hanya perempuan, tapi juga anak dan laki-laki. Di sisi lain, kebijakan
serupa ini akan meminggirkan perempuan di dunia kerja sebab ia akan dipandang
sebagai tenaga kerja yang tidak kompetitif dan tidak produktif. Artinya,
dengan “merumahkan perempuan” untuk semua alasan di atas, realisasi usulan ini
merupakan langkah mundur dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Pekerjaan dibahas dalam filsafat utamanya saat era
modernitas bergulir. Adalah John Locke yang awal-awal menemukan bahwa segala
nilai ekonomis diciptakan dalam pekerjaan. Martin Heidegger lalu
menghubungkannya dengan Sorge. Karl Marx lalu menyempurnakan hakekat pekerjaan
menjadi pernyataan diri manusia melalui objektivikasi. Manusia menjadi nyata
karena pekerjaannya. Tidak semua aktivitas manusia adalah pekerjaan, pekerjaan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang direncanakan yang memerlukan
pemikiran khusus, sehingga tidak bisa dilakukan oleh binatang. Melalui
pekerjaan, manusia menjadi nyata dan ada.
Lebih lanjut, Marx mengemukan beberapa hakikat penting
tentang pekerjaan:
Yang pertama adalah pekerjaan merupakan tanda
kekhasan manusia sebagai makhluk yang bebas dan universal. Bebas karena ia
tidak hanya melakukan apa yang langsung menjadi kecondongannya, karena ia
dapat merencanakan tindakannya, dan universal karena ia tidak terikat pada
lingkungan alam yang terbatas.
Yang kedua, pekerjaan adalah objektivikasi manusia.
Manusia diakui oleh hasil yang ia ciptakan. Seorang seniman akan diakui sebagai
seniman bila ia punya karya seni. Hasil kerja membuktikan kebebasan dan
keuniversalan manusia. Seorang pembuat patung misalnya. Ia bebas menentukan apa
yang ia buat dan tidak terbatas pada satu model saja.
Yang ketiga adalah pekerjaan merupakan pertanda
manusia sebagai makhluk sosial. Seorang pembuat perahu misalnya. Perahu yang
selesai ia buat tidak hanya ia nikmati sendiri, tetapi juga dinikmati oleh
teman-temannya. Ada pengakuan dari orang lain tentang manfaat hasil kerja si
pembuat perahu. Pengakuan ini yang membuat manusia senang atas pekerjaannya.
Selanjutnya, Marx memunculkan suatu pertanyaan, kalau
hakikat pekerjaan sebagus itu, kenapa masih ada begitu banyak orang yang malah
merasa direndahkan, diremuk dan ditindas di dalam pekerjaan itu sendiri?
Marx menyebut fenomena ini sebagai keterasingan. Buat
banyak orang (Marx menggunakan istilah buruh), pekerjaan sehari-hari sama
sekali bukan pekerjaan yang menggairahkan. Pagi hari mereka masuk dengan murung
ke tempat kerja dan mereka akan bersuka cita ketika jam pulang. Mereka bekerja
bukan karena kesenangan melainkan terpaksa, terpaksa bekerja untuk bertahan
hidup.
Mestinya manusia senang bekerja, karena pekerjaan
menurut Hegel adalah tindakan pernyataan diri manusia, tetapi banyak orang
benci akan pekerjaan mereka. Ternyata justru dalam pekerjaan, manusia merasa
terasing dari dirinya sendiri, merasa diperalat, dan direndahkan.
Bekerja adalah wujud dari eksistensialisme manusia.
Dengan ia, maka manusia itu ada. Jean Paul Sartre mengelompokkan “Ada”
menjadi tiga: Ada-pada-dirinya (entre en soi), Ada-bagi-dirinya (entre
pour soi) dan Ada-untuk-orang lain (entre pour les autres). Di dua
“Ada” yang pertama, “Ada” adalah penuh, digunakan untuk membahas objek-objek
yang tidak berkesadaran. “Ada” yang terakhir adalah konsep “Ada” yang
berkesadaran. Menurut Satre, konsep ini hanya bisa dilakukan oleh manusia.
Pertanyaannya adalah apakah dengan bekerja, seorang
perempuan menjadi “Ada”? Bila ia “Ada”, ada di “Ada” yang manakah ia? Apakah
sebagai Subjek, Objek atau Abjek?
Bekerja adalah wujud dari eksistensialisme manusia.
Dengan ia, maka manusia itu ada. Jean Paul Sartre mengelompokkan “Ada”
menjadi tiga: Ada-pada-dirinya (entre en soi), Ada-bagi-dirinya (entre
pour soi) dan Ada-untuk-orang lain (entre pour les autres). Di dua
“Ada” yang pertama, “Ada” adalah penuh, digunakan untuk membahas objek-objek
yang tidak berkesadaran. “Ada” yang terakhir adalah konsep “Ada” yang
berkesadaran. Menurut Satre, konsep ini hanya bisa dilakukan oleh manusia.
Pertanyaannya adalah apakah dengan bekerja, seorang
perempuan menjadi “Ada”? Bila ia “Ada”, ada di “Ada” yang manakah ia? Apakah
sebagai Subjek, Objek atau Abjek?
Bekerja adalah Hak Asasi, paling tidak dalam
konstitusi Negara ini dengan jelas ditulis bahwa tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 Ayat 2, UUD
1945). Frasa tiap warga negara dilandaskan pada prinsip non diskriminasi. Frasa
itu menjelaskan keseluruhan warga negara tanpa terkecuali, dan perempuan
(seharusnya) masuk ke dalam kriteria tersebut tanpa ada pengecualian. Sayangnya
pasal tersebut tidak menjadi Das Sollen atau yang seharusnya demikian.
Perempuan dan pekerjaan digambarkan bagai air dan
minyak, dua hal yang tak mungkin bersatu. Pandangan umum menstigma perempuan
yang meniti karier adalah sebuah kegagalan. Utamanya adalah kegagalan mengurus
rumah tangga, karena beban mengurus rumah tangga direkatkan begitu kuat kepada
perempuan walau seharusnya merawat rumah tangga menjadi tugas bersama antara
laki-laki dan perempuan sebagai anggota dari rumah tangga tersebut.
Awalnya penulis berpikir bahwa isu perempuan dan
pekerjaan adalah isu yang sudah usang, mengingat isu ini sudah dibahas oleh
filsuf-filsuf terdahulu dan ditambah realitas bahwa saat ini ada begitu banyak
perempuan yang hadir di ruang publik untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat
secara common senses di setiap sore saat bubaran kantor. Di sepanjang
pusat perkantoran di Jakarta, kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak
perempuan yang hadir di ruang publik.
Namun, penulis salah! Wacana JK untuk mengurangi jam
kerja perempuan membuktikan bahwa isu ini belumlah selesai dibahas. Hadirnya
perempuan di ruang publik menyisakan banyak kekhawatiran tentang pengasuhan
anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Andai saja Wapres lebih
bijak, maka beliau tidak perlu memaksakan pandangan bahwa perempuan adalah
satu-satunya yang bertanggung jawab atas pola asuh anak. Beliau cukup
menghimbau agar para laki-laki untuk tidak perlu malu untuk ikut ambil
bagian dalam mengasuh anak karena memang harusnya demikian. Anak adalah anak
dari ayah dan ibu, jadi sudah sewajarnya ayah dan ibu bersama-sama mengasuh
anaknya.
Atau jangan-jangan wacana itu hadir karena ketakutan
laki-laki melihat realitas bahwa mereka kini tidak lagi bersaing hanya dengan
laki-laki, tetapi juga dengan perempuan dalam memperebutkan ruang publik yang
bernama pekerjaan, ditambah ketidaksiapan laki-laki untuk masuk ke ruang
domestik!
Daftar Pustaka:
Kompas Online, 25 November 2014. “Wapres Ingin Jam
Kerja Pegawai Perempuan Dikurangi Dua Jam”
Vivanews, 1 Desember
2014. “Menpan RB: Pengurangan Jam Kerja Wanita Baru Berlaku untuk PNS” http://nasional.news.viva.co.id/news/read/563949-menpan-rb--pengurangan-jam-kerja-wanita-baru-berlaku-untuk-pns
Blog Pasar Kaget, 17
September 2014, Keterasingan
Gerung, Rocky. (2013).
“Stigma” dalam “Jurnal Perempuan 76,
Karier & Rumah Tangga”. Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
Arivia, Gadis. (2003). “Filsafat Berprespektif Feminis”.
Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
Suseno, Franz Magnis.
(2005). “Manusia hasil Pekerjaannya
Sendiri: Filsafat Pekerjaan Hegel dan Marx”dalam Pijar-Pijar Filsafat.
Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar