Kejutan dari teman-teman sekantor Bila 1 April bagi kebanyakan orang dirayakan sebagai hari berbohong sedunia alias April Mop, bagiku tidak demikian. Aku memaknai 1 April sebagai hari yang istimewa, karena tepat di hari itu, aku mengambil sebuah keputusan penting yang membuat hidupku tidak lagi sama. 1 April 2013, aku mengawali pertualanganku di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau yang lebih familiar disebut Komnas Perempuan sebagai anak magang. Setelahnya, secara berturut-turut, aku menjadi relawan, staf dan sekarang menjadi Asisten Kampanye Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. 3 tahun sudah sejak hari itu dan rasanya masih istimewa. Ibarat minum bir, ini gelas ketiga, belum mabuk, masih waras dan masih haus akan gelas-gelas berikutnya. Sebagai hadiah istimewa di hari jadian ketiga ini, aku mau menulis tentang kehidupan di Komnas Perempuan, biar pada enggak penasaran gimana sih rasanya kerja di lembaga ini. Aku sering ditanya orang,...
Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi antara produsen atau penjual dengan konsumen atau pemakai dengan tujuan untuk membujuk konsumen untuk menggunakan produk dari produsen. Iklan menjadi sesuatu yang penting mengingat makin tingginya tingkat persaingan, dan hal itulah yang menyebabkan banyak produsen lupa atau pura-pura lupa bahwa iklan itu harus beretika. Banyak produsen yang melanggar etika itu, dan ini adalah beberapa contohnya : 1. Iklan Fren (Nelpon Pake Fren Bayarnya Pake Daun) Persaingan sengit antara para penyedia layanan kartu selurer tampaknya sudah memasuki suatu demensi baru. Perang tarif dan perang ikon menjadi sesuatu yang lumrah, dan lagi-lagi masyarakat yang menjadi tujuan peperangan tersebut. Fren, salah satu penyedia layanan kartu seluler beberapa waktu lalu mengeluarkan sebuah iklan yang menampilkan seorang wanita hanya mengenakan daun dan ditemani beberapa pria yang juga hanya mengenakan daun. Setidaknya ada 2 hal di iklan itu yang menjadi bahan perdebatan ...
Suasana Diskusi di Komnas Perempuan Ibarat kata pepatah, “ sudah jatuh tertimpa tangga pula”, begitulah nasib korban kekerasan seksual. Sudah menjadi korban oleh pelaku, menjadi korban lagi dari pemberitaan media yang mengstigmatisasi korban. Pemberitaan media yang secara gamblang menyebut identitas korban semakin membuat korban kejahatan seksual merasa tak berharga, lemah, terbuang, murung, mengucilkan diri, dan tak berdaya. Padahal sudah jelas, tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik, pasal 5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Namun, masih banyak media yang memilih untuk mempublikasikan korban kejahatan seksual. Alih-alih membantu, pengungkapan identitas ini malah membuat korban kejahatan seksual mengalamai trauma karena masyarakat semakin mengetahui permasalahan yang dihadapi. Rabu, 11 Januari 2012 kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) m...
kritik : nama emailnya ditaro dibawah slogannya aja po, biar lebih rapi :p
BalasHapusatau gak nama emailnya dikurangin opacity-in :p
kalo soal konsep, udah bagus kok :D