Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia
Kabar duka cita atas meninggalnya Eddie Lembong |
Kabar duka mengawali bulan November 2017. Tanggal 1 November kemarin, Eddie Lembong berpulang kepada sang pencipta. Beliau berpulang dalam damai di RS Graha Kedoya, setelah menjalani perawatan intensif di Singapura.
Masih jelas dalam ingatan, saat aku terakhir bertemu dengan beliau di acara seminar dan peluncuran buku "Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa" di kampus
Unika Atmajaya, Semanggi, Februari 2017.
Dalam acara itu, Eddie Lembong mengatakan bahwa beliau menginginkan sebuah everlasting legacy sebelum beliau meninggalkan dunia ini. Buku ini dipersiapkan Eddie Lembong sebagai kado ulang tahun ke-70 Republik Indonesia.
"Bagi saya pribadi, tidak lama lagi matahari akan terbenam, maka
izinkan saya persembahkan buku Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan
Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa ini sebagai kado bagi Ibu Pertiwi,
yang saya cintai dengan sepenuh hati. Dengan rendah hati, saya harapkan
bangsa Indonesia berkenan menerima persembahan ini sebagai suatu
everlasting legacy, warisan abadi dari kami di Yayasan Nabil."
ungkapnya.
Buat yang belum tahu sosok Eddie Lembong dan kiprahnya dalam hal kebangsaan, berikut aku sarikan dari siaran pers yang aku terima.
Dilahirkan di desa Palasa, Tinombo (Gorontalo), 30 September 1936 dari pasangan Joseph dan Maria Lembong, Eddie beserta sembilan saudaranya dibesarkan dalam suasana kampung halaman yang multi etnis dan menjunjung tinggi kebhinnekaan. Pendidikan awal dan menengah Eddie agak kacau, karena pengaruh perang dan pergantian penguasa. Namun, dengan perjuangan keras, si anak kampung ini mampu masuk ke Institut Teknik Bandung di tahun 1957, hingga lulus Mei 1965. Masa perkuliahan dengan rekan-rekan dari berbagai penjuru tanah air--- yang diisinya dengan ikut aktif di dalam organisasi kemahasiswaan--- semakin meneguhkan sikap kebhinnekaan serta memperkuat jiwa kepemimpinan dalam dirinya.
Pada 1971, Beliau mendirikan PT Pharos Indonesia, yang kemudian menjadi salah satu pabrik obat terkemuka. Setelah masa Reformasi, Eddie lebih dikenal sebagai sosok yang peduli dengan masalah-masalah kebangsaan, khususnya yang terkait dengan etnis Tionghoa serta penguatan karakter bangsa.
Lahirnya era Reformasi dan ramainya partisipasi etnis Tionghoa ke dalam ranah organisasi, membuat Eddie Lembong semakin sibuk dengan urusan kemasyarakatan. Beliau sempat sejenak menjadi wakil ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) sebelum akhirnya menjadi salah satu pendiri dan Ketua Umum pertama Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI), yang dideklarasikan 10 April 1999. Pemilihan nama “Indonesia-Tionghoa” ini menunjukkan sikap politik Eddie dan rekan-rekannya, yang pertama-tama dengan tegas menyatakan, bahwa mereka adalah orang Indonesia.
Dalam masa enam tahun memimpin INTI (1999-2005), Eddie berkeliling Indonesia dan menjalin kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, organisasi massa dan keagamaan serta perguruan tinggi. Beberapa MoU telah ditandangani INTI dengan beberapa kampus, serta banyak kegiatan akademis yang telah dilakukan dalam bentuk seminar dan penerbitan buku. Terkait internal INTI, Eddie mampu mendirikan 10 Pengurus Daerah dan 19 Pengurus Cabang INTI di seluruh penjuru tanah air. Kiprahnya di INTI membuat peneliti asal AS, Amy L. Freedman menyebut nama Eddie dalam bukunya, Political Participation and Ethnic Minorities (2000).
Eddie kemudian mendirikan Yayasan Nation Building (Nabil) yang lahir dengan awal yang sederhana pada tanggal 30 September 2006. Organisasi nirlaba tersebut memfokuskan kegiatannya pada dua hal. Pertama, memperkuat karakter bangsa. Untuk itu Nabil menawarkan gagasan “Penyerbukan Silang Antarbudaya” (Cross Cultural Fertilization). Intinya, unsur-unsur budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dorong kemajuan dapat saling diserbuksilangkan. Di samping itu, kita juga harus terbuka untuk menyerbukkan budaya kita dengan budaya-budaya unggul yang berasal dari bangsa lain.
Fokus kedua Nabil terkait dengan golongan Tionghoa. Dalam istilah cendekiawan muda Dr Yudi Latif, Nabil berkomitmen “untuk membawa komunitas Tionghoa dari pinggiran menuju ruang tengah kebangsaan Indonesia”. Hendaknya di abad XXI ini sudah saatnya kita semua menginsyafi bahwa etnis Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Maka Nabil menerbitkan beberapa buku mengenai kontribusi etnik Tionghoa bagi tanah air Indonesia, a.l. Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (3 jilid, 2016) yang merupakan kompilasi 129 naskah hasil karya 73 ahli dari dalam dan luar negeri, serta Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia (2014).
Kontribusi Eddie Lembong lainnya adalah dalam soal penghapusan secara resmi istilah “Cina”-- yang dianggap merendahkan—menjadi “Tionghoa” oleh Presiden SBY pada 12 Maret 2014 melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Isinya menyebutkan dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan Negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Selamat jalan, Eddie Lembong! Kiranya gagasan dan pemikiran beliau dapat diteruskan oleh generasi muda bangsa Indonesia. RIP!
Komentar
Posting Komentar