Ada Bhinneka dalam Semangkuk Soto Betawi


Soto Betawi A Fung

Di sebuah sore yang mendung, sembari menyeruput segelas kopi susu, aku membaca buku Tionghoa dalam Keindonesiaan, aku menemukan sebuah narasi yang menarik tentang pengaruh kebudayaan Tionghoa dalam perkembangan kuliner di Nusantara. Rupa-rupanya selain, mie, bakso, kecap, taoge dan tahu yang sudah jelas dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara, ada satu lagi masakan yang juga dipengaruhi oleh budaya Tionghoa, yaitu soto. 

Aji "Chen" Bromokusumo dalam bab Budaya Tionghoa dalam Tata Boga mengutip Denys Lombart yang menyebutkan bahwa, soto berasal dari kata 草 肚 (Cau Du) yang dalam dialek Hokkien dilafalkan menjadi Chao Toh, lama kelamaan jadi soto. Cau secara harfiah berarti rumput yang mengacu pada rempah-rempah. Sementara itu, Du secara harfiah berarti babat, yang mengacu pada jeroan sapi.
 
Saat membaca naskah itu, aku sejenak ragu dengan tesis yang diajukan oleh Denys Lombart, secara kalau di rumah jarang sekali masak soto. Lagi pula, bila memang soto berasal dari kebudayaan Tionghoa, sudah tentu soto akan tersedia di setiap Imlek.

Rasa penasaran tentang hal ini lalu membuatku menelusuri jejak soto lebih jauh, sampai ke daerah pecinan di Glodok. Konon di sini, ada sebuah rumah makan soto Betawi yang dinamai dengan nama pemiliknya yaitu A fung. Nah, kalau biasanya soto Betawi itu identik dengan nama-nama Betawi seperti Haji Ma'aruf, Haji Hussein, Haji Mamat, lah kok ini namanya malah A Fung? Siapakah gerangan A Fung ini? 

Rumah makan soto Betawi A Fung, Glodok

Di satu minggu siang yang terik, aku mampir ke rumah makan ini yang terletak di gang Gloria. Buat yang sering hunting kuliner atau pernak-pernik Tionghoa pasti sudah sangat hafal dengan gang Gloria yang legendaris ini. Rumah makan soto Betawi A Fung cukup luas, ada beberapa meja besar dengan kursi-kursi plastik. Tempatnya bersih dan nyaman untuk menikmati santap siang. Begitu sampai di rumah makan ini, aroma wangi soto langsung menyeruak ke hidung, seketika membangkitkan selera makan.

Setelah memilih tempat duduk di bawah kipas angin, aku memesan semangkuk soto Betawi dan es teh manis. Tak lama es teh manis pun datang, disusul semangkuk soto Betawi dan sepiring nasi. Soto Betawi A Fung ini rasanya gurih sekali. Jeroannya dipotong besar-besar dan teksturnya sangat empuk bila digigit. Sungguh nikmat sekali!

Selesai makan, aku mulai mencari informasi. Rupanya A Fung adalah seorang peranakan Tionghoa-Betawi. Nama lengkapnya adalah Ho Tjiang Fung alias Yanti Herawati. Sebagaimana diberitakan oleh Tempo, Nyonya Fung memulai usahanya sejak tahun 1982. Sempat berpindah-pindah tempat, sampai akhirnya menetap di Gang Gloria sejak tahun 2005. Soto Betawi A Fung kini telah memiliki 2 cabang lainnya, di Kelapa Gading dan Puri Kembangan.

Karena lagi tidak terburu-buru, aku memesan lagi semangkuk es campur sembari browsing-browsing lagi informasi tentang sejarah soto Betawi. Dari beberapa literatur yang ada, semuanya merujuk pada sosok Lie Boen Po sebagai orang yang pertama kali mempopulerkan soto Betawi. Seperti yang diberitakan oleh Detik Food, soto Betawi hadir dalam kuliner masakan Indonesia sekitar tahun 1977-1978. Adalah Lie Boen Po, penjual soto di daerah Lokasari yang pertama kali menggunakan istilah soto Betawi. Setelah penjual soto tersebut tutup tahun 1991, istilah soto Betawi makin menyebar luas. 

Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia

Membicang soto Betawi ini sangat menarik, karena merupakan simbol pertemuan dari berbagai kebudayaan. Fadly Rahman, penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia mengatakan bahwa dalam semangkuk soto Betawi ada keharmonisan yang padu.

"Soto itu asalnya dari Cina, namanya Caudo. Kemudian ada pengaruh lain dari Arab dan India di Soto Betawi, yaitu penggunaan minyak samin atau ghee. Ini artinya ada keharmonisan yang sangat padu dalam masyarakat Betawi dilihat dari semangkuk soto," kata Fadly seperti yang dikutip dari BBC Indonesia.

Kesimpulan Fadly Rahman ini sejalan dengan kenyataan bahwa Jakarta, sejak namanya Sunda Kelapa sampai Batavia merupakan bandar yang ramai didatangi oleh orang-orang dari seluruh dunia, termasuk dari Tiongkok. Hal ini, yang kemudian mempengaruhi kebudayaan Betawi termasuk ragam kulinernya.

Setelah browsing sana-sini, masih tersimpan kejanggalan kalau memang soto terutama soto Betawi dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa, kenapa di keluargaku tidak familiar masak soto?

Hal ini rupanya karena ada perbedaan proses asimilasi kebudayaan yang terjadi akibat tidak samanya gelombang migrasi orang-orang Tiongkok ke Nusantara. Andreas Maryoto dalam bab Silang Budaya Kuliner Nusantara menyebutkan bahwa secara antropologis, kebudayaan minoritas akan luluh ketika masuk ke kebudayaan mayoritas. Sebaliknya, bila kebudayaan minoritas bertemu dengan kebudayaan minoritas lainnya, maka kebudayaan mereka masing-masing akan bertahan. 

Di pulau Jawa, orang-orang Tionghoa datang sebelum abad ke-17. Umumnya datang dalam kelompok yang kecil, bahkan perorangan dan biasanya hanya laki-laki. Hal ini menyebabkan kebudayaan Tionghoa berasimilasi total dengan kebudayaan Jawa. Hasilnya dapat dilihat dalam Lumpia di Semarang. Cara masak, bentuk dan nama merupakan ciri hidangan Tionghoa, tapi rasa manis dan isi yang berupa orak-arik adalah khas Jawa. 

Selain Lumpia, hasil asimilasi yang menarik adalah Lontong Cap Go Meh yang termahsyur di Surabaya dan Jawa Timur. Lontong Cap Go Meh biasanya disajikan untuk merayakan malam ke-15 setelah Imlek (Cap Go = lima belas, Meh = Malam). Di Tiongkok tidak kenal kuliner ini. Diperkirakan Lontong Cap Go Meh hampir sama tuanya dengan kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara. Tabrak sana tabrak sini, menggabungkan resep dari negeri asal dengan negeri yang baru, maka lahirlah kuliner baru.

Cerita tentang kawin campur antara orang Tionghoa dengan penduduk Nusantara di Jawa dapat disaksikan di Klenteng Nyai Ronggeng di Ancol. Klenteng ini dihubung-hubungkan dengan Sampo Soei Soe, seorang Tionghoa Muslim yang menjadi juru masak Cheng Ho. Kisahnya pada waktu Cheng Ho ekspedisi ke Sunda Kelapa, sang juru masak jatuh cinta dengan penari ronggeng setempat yang bernama Siti Wati. Karena saling jatuh cinta, keduanya akhirnya menikah. Ketika mereka meninggal, mereka dikuburkan di kompleks klenteng ini bersama mertuanya yang bernama Said Areli. 

Arca Sampo Soei Soe dan Iboe Siti Wati di Klenteng Nyari Ronggeng di Ancol

Lain halnya dengan Sumatera Utara. Kuliner Tionghoa di Sumatera Utara relatif masih sama dengan di Tiongkok. Hal ini karena para orang-orang Tionghoa datang ke Sumatera Utara, setelah abad ke-17. Umumnya datang dalam jumlah yang besar serta membawa istri. Hal ini membuat budaya Tionghoa di Sumatera Utara tidak berasimilasi total dengan kebudayaan setempat. Mungkin hal itu yang membuat keluarga aku di Sumatera Utara tidak familiar memasak soto sebagaimana di Jawa. 

Hal menarik lainnya tentang soto Betawi adalah polemik tentang penggunaan santan atau susu yang lebih pas sebagai bahan dasar kuah soto. Dalam buku Antropologi Kuliner Nusantara terbitan tempo, disebutkan bahwa kuliner itu tidak tercipta begitu saja. Ada latar belakang sejarah, sosiologis bahkan politik yang bisa mempengaruhi sepiring hidangan. 

Aku menduga bahwa soto Betawi itu bahan dasarnya menggunakan susu. Hal ini dapat ditelusuri jejaknya ke Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang awalnya merupakan pasar kambing yang didirikan oleh Justinus Vinck pada tahun 1735.

Tokoh senior Betawi Irwan Syafi’i (81) mengatakan kepada Kompas Travel bahwa masuknya susu ke dalam kuah sop dan soto Betawi relatif baru. Ketika beranjak remaja pada tahun 1945, ia hanya mengenal sop kambing bening dan soto betawi bersantan.

”Waktu itu susu melimpah. Karena orang Betawi malas memeras santan, mereka menggantinya dengan susu. Itu bukan pengaruh Belanda. Belanda kan enggak bisa masak soto Betawi,” katanya pada Kompas Travel

Kalau sekarang, mungkin sedikit yang masih setia menggunakan susu. Biasanya, para pedagang soto Betawi menggunakan santan atau malah susu bubuk. Hal ini bisa jadi karena harga susu segar yang mahal, serta kualitasnya yang jelek.

Nah, sudah kebayangkan bagaimana rasa dan cerita di balik semangkuk soto Betawi? Biar makin afdol, makan soto Betawi mesti ditemani lagu Sup Soto Betawi yang dinyanyikan oleh teman-teman dari Papua. Lagunya bisa dinikmati di sini!

Kamu punya cerita tentang soto Betawi atau punya langganan soto Betawi yang enak banget? Share pendapat kamu di kolom komentar ya! 

Sumber:

Buku Tionghoa dalam Keindonesiaan
Buku Antropologi Kuliner Nusantara
Buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia
Mengenal Klenteng Nyai Ronggeng di Ancol
Buku Tionghoa dalam Keindonesiaan diluncurkan
Detik Food: Jeroan dan Daging Sapi Berpadu Santan dalam Soto Betawi
BBC Indonesia: Mengecap Toleransi dan Keharmonisan dalam Semangkuk Soto Betawi
Kompas Travel: Sop Bersusu di Malam Jumat
Tempo: Kuliner Serba Santan di Gang Gloria Glodok

Komentar

  1. terima kasih untuk tulisan ini. sekarang saya mengerti, kenapa gada soto di sumatera.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soto juga ada di Sumatera. Salah duanya, Soto Medan, dan Soto Padang.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan