Hikayat Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa Pertama dan Nasibnya Sekarang


Napak Reformasi Komnas Perempuan ke Makam Souw Beng Kong 2011. Dok: Komnas Perempuan

Minggu lalu, aku pergi ke kawasan Kota Tua Jakarta untuk refreshing sambil mengikuti keseruan Festival Kuliner Ikan Nusantara. Saat sedang asyik menikmati berbagai jenis ikan yang ada, aku teringat akan makam Souw Beng Kong yang terletak tak jauh dari kawasan Kota Tua. Aku pun bergegas ke sana untuk berziarah.

Makam Souw Beng Kong terletak di Gg Taruna, Jalan Pangeran Jayakarta. Agak sulit untuk melihat makam Souw Beng Kong dari jalan raya, karena makam tersebut berada dalam himpitan ruko-ruko yang menjamur sepanjang jalan. Untungnya ada papan petunjuk jalan yang menunjukkan lokasi makam kuno tersebut. 

Gang sempit menuju makam Souw Beng Kong

Sampai di lokasi makam Souw Beng Kong, hatiku remuk redam. Kondisi makam sangat mengenaskan! Pagar teralis yang membatasi makam dijadikan tiang jemuran oleh warga. Sampah juga berserakan di area makam. Bahkan, di depan nisan, tergenang air yang sangat kotor. Menurut seorang warga yang mengaku sebagai pembersih makam tersebut, air genangan disebabkan oleh hujan yang terus menerus turun, dan belum sempat dibersihkan. Aku tidak menanggapi ucapannya, karena sudah terlanjur sedih melihat kondisi makam yang demikian tak terawatnya. 

Buat yang belum tahu, Souw Beng Kong adalah Kapiten Tionghoa pertama di Batavia bahkan Nusantara. Souw Beng Kong atau yang biasa dipanggil Ben Con oleh orang-orang VOC adalah orang yang dipercaya oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen untuk membangun kota Batavia. 

Makam Souw Beng Kong, 14 Mei 2017

Menurut buku Riwayat Kapiten Tionghoa pertama di Batavia, Souw Beng Kong lahir tahun 1580 pada masa dinasti Ming di distrik Tong An, provinsi Hokkian, Tiongkok. Kisah tujuh kali ekspedisi Laksamana Ceng Ho merupakan salah satu pemicu hasrat sebagian penduduk pesisir selatan Tiongkok untuk merantau ke Nan Yang (Kepulauan Selatan - Sekarang Asia Tenggara) untuk mengadu nasib, termasuk Souw Beng Kong. 

Selain kisah Laksamana Ceng Ho, migrasinya penduduk Tiongkok ke Nanyang disebabkan oleh penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Manchuria terhadap Tiongkok. Dalam buku Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang (2016), disebutkan bahwa gelombang migrasi terbesar terjadi pada masa Dinasti Ching antara tahun 1644-1911. Pada saat itu banyak orang Tiongkok yang berontak pada bangsa Manchuria yang menjajah negeri itu. Pemerintahan Manchuria juga memaksa bangsa Tiongkok untuk memakai Tochang (kuncir rambut khas Manchu).

Souw Beng Kong muda merantau ke selatan saat berusia 24 tahun. Dengan menumpang perahu Jung, Souw Beng Kong melintasi laut Tiongkok Selatan yang ganas, sampai akhirnya berlabuh di Banten (1604) yang ketika itu sudah menjadi kota bandar yang termahsyur dan sering disinggahi kapal niaga asing, termasuk kapal dari Tiongkok. Pada saat itu, orang Tionghoa sudah banyak yang bermukim di pinggir pantai Banten. Ketika armada dagang Belanda di bawah komando Cornelis De Houtman sampai pertama kali di Banten pada 1596, mereka tercengang sekali menyaksikan keberadaan orang Tionghoa yang jumlahnya cukup banyak dan tinggal di rumah yang terbuat dari batu bata dan genteng.

Souw Beng Kong yang cerdas, ulet dan bervisi luas segera menjadi saudagar eksportir lada yang ulung. Dalam waktu singkat, Souw Beng Kong menjadi saudagar muda yang kaya raya dan menjadi tokoh Tionghoa terkemuka. 

Menurut Wahyu Wibisana dalam Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang (2016), yang mengutip Denys Lombard, mengatakan bahwa Souw Beng Kong yang mengajarkan teknik bertanam padi yang lebih efektif pada petani Banten. Souw Beng Kong diyakini memperkenalkan alat penyosoh padi yang menggunakan dua-tiga ekor sapi. Dengan alat itu, pekerjaan petani dapat lebih efektif dibanding tradisi lama. Souw Beng Kong juga diyakini mengajarkan masyarakat Banten untuk menanam kacang hijau, dan mengolah kacang hijau menjadi tauge, tahu, tauco dan lain sebagainya.

Souw Beng Kong menjalin hubungan erat dengan pihak kesultanan Banten hingga diberi kepercayaan penuh menangani transaksi ekspor hasil bumi dari Banten. Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda harus bernegosiasi dulu dengan Souw Beng Kong. Pada 1611, Jan Pieterzoon Coen hendak membeli membeli hasil bumi dari Banten berupa lada. J.P.Coen merasa heran karena harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong!

Tahun 1619, VOC berhasil merebut kota Jayakarta dan menggantinya dengan nama kota Batavia. Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen lalu berniat membangun kota Batavia sebagai kota bandar dan markas VOC. Namun, niat tersebut menemui ganjalan karena kondisi kota yang porak poranda akibat perang, penduduk setempat bersikap non-kooperatif dan kuranganya sumber daya manusia yang terampil. J.P. Coen lalu teringat dengan sosok Souw Beng Kong yang dikenalnya di Banten. J.P. Coen meminta Souw Beng Kong membangun kota dan memajukan perdagangan Batavia. Souw Beng Kong lalu mengalihkan kapal-kapal dari Tiongkok yang tadinya akan merapat ke Banten menjadi bersandar ke Batavia. Souw Beng Kong juga banyak mendatangkan tenaga dari Tiongkok untuk dijadikan kuli, dan tukang.

Souw Beng Kong pun dikemudian diangkat menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa dengan pangkat Overste der Chineeszen pada 1619. Dua tahun kemudian, pangkat itu ditingkatkan lagi menjadi Capitein der Chineeszen (1621). Souw Beng Kong menjadi kapiten pertama di Batavia bahkan Nusantara. Tugas Kapiten Tionghoa ini adalah mengatur dan mengendalikan komunitas Tionghoa di Batavia. Seorang Kapiten hanya berkonsentrasi mengurusi keamanan dan masalah-masalah dalam komunitas Tionghoa sendiri. Kepangkatan Kapiten tidak terkait dengan pangkat kemiliteran.

Menurut Mona Lohanda dalam Parnakkan Tionghoa Muslim di Batavia (2016). VOC juga memberlakukan gelar Kapiten terhadap suku-suku lainnya, seperti Kapiten Melayu di Kampung Melayu, Kapiten Sumbawa di Kampung Tambora, Kapiten Bali di Kampung Krukut, dan lain-lain.  

Pada 1636 Souw Beng Kong meletakkan jabatannya sebagai Kapiten dan diteruskan oleh Lim Lak Co yang terkenal piawai dalam membuat sepatu. Kapiten Lim Lak Co berkuasa dari 1636 sampai 1645. Kapiten berikutnya adalah Phoa Beng Gam (1645-1663) yang ahli dalam bidang pengairan. Salah satu warisan dari Phoa Beng Gam adalah kanal Molenvliet yang sampai sekarang masih eksis. Molenvliet dibangun pada 1648 untuk mempermudah transportasi dari Tanah Abang ke Kota. Selain untuk transportasi, Molenvliet juga berfungsi untuk mengatasi wabah penyakit malaria di Batavia dan mencegah banjir. Molenvliet kini diapit oleh jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk.

Souw Beng Kong meninggal pada April 1644, dan dikuburkan di kompleks makam keluarga, yang terletak di kebun kelapa miliknya sendiri seluas 20.000 meter persegi. Lokasinya sekarang ada di Gg Taruna, Jl Pangeran Jayakarta. Sejak tahun 1945, arus urbanisasi tidak terbendung di Jakarta, seluruh tanah komplek makam habis. Selama setengah abad lebih, makamnya terhimpit dengan bangunan kumuh yang sangat padat. Bahkan di atas pusaranya, dibangun bangunan semi permanen bertingkat berikut jambannya. 

Gang Taruna, Jalan Pangeran Jayakarta

Menurut peta area pemakaman keluarga Souw Beng Kong yang digambar oleh G.P. Rouffaer tahun 1920, terlihat bahwa ada tujuh makam keluarga Souw Beng Kong. Namun yang masih eksis sekarang tinggal dua, salah satunya adalah makam Souw Beng Kong. Salah satunya lagi berada di halaman rumah penduduk. 

Tahun 2008, makam tersebut berhasil dipugar oleh Yayasan Kapiten Souw Beng Kong. Lahan di sekitar makam berhasil dibebaskan, keramik lantai dan pagar juga dipasang. Selain itu, gundukan tanah juga diganti dengan yang baru. Di pulau jalan sepanjang Jl. Pangeran Jayakarta juga dipasang tiga buah papan petunjuk jalan ke makam. 

Papan Petunjuk jalan di Jalan Pangeran Jayakarta

Tahun 2011, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Napak Reformasi Tragedi Mei 1998. Salah satu situs yang dikunjungi adalah makam Souw Beng Kong. Dalam buku Napak Reformasi Tragedi Mei 1998 (2012), makam Souw Beng Kong merupakan salah satu situs pendukung ingatan tentang Tragedi Mei 1998. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pembahasan tentang kerusuhan Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari persoalan sentimen ras yang sejak lama berkembang di Indonesia. Dalam situasi sentimen ras, kerap kita dibuat lupa bahwa perjalanan sejarah Indonesia adalah berangkat dari kontribusi masyarakat Indonesia dari berbagai suku, agama, serta ras yang ada termasuk Etnis Tionghoa. Bukti yang memperlihatkan kontribusi Etnis Tionghoa adalah adanya warisan-warisan etnis Tionghoa dalam pembangunan kota Jakarta, yang diwakili oleh tiga situs, yaitu gedung Galangan VOC, makam Souw Beng Kong dan Taman Budaya Tionghoa di Taman Mini Indonesia Indah.

Masuknya makam Souw Beng Kong ke dalam situs pendukung ingatan Tragedi Mei 1998 juga diakui oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana dapat dilihat di situs Ensiklopedia Jakarta. Bahkan, pada 28 Januari 2016, Basuki Tjahaya Purnama, Gubernur DKI Jakarta menetapkan makam Souw Beng Kong sebagai cagar budaya. Penetapan tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 278 tahun 2016.  

Makam Souw Beng Kong, 14 Mei 2017

Sekarang beginilah kondisi makam Soew Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama! Terkesan kotor, dan sangat tidak terawat. Menurut warga sekitar situ, tidak banyak orang yang datang untuk berziarah ke makam ini. Menurut So Wee Ming, salah satu pengurus Yayasan Kapiten Souw Beng Kong, dalam diskusi di Facebook, makam Kapiten Souw Beng Kong ini sebenarnya sudah jauh lebih baik setelah dipugar, tetapi belakangan ini mulai "dirambah" lagi oleh warga sekitar dan menjadikan pagarnya sebagai tiang jemuran serta membuang sampah semaunya! Ketiadaan dana untuk penjagaan dan pengamanan makam membuat masyarakat kembali mengotori tempat tersebut semaunya tanpa bisa dicegah.

Menurutku, selain penjagaan, penting juga untuk melibatkan warga sekitar agar sama-sama menjaga tempat tersebut. Warga sekitar mesti disosialisasikan arti pentingnya keberadaan makam tersebut. Melalui tulisan ini, aku juga berharap kepada pemda DKI agar mengalokasikan dana untuk membebaskan lahan di sekitar makam dan memasukan situs makam Souw Beng Kong ini sebagai bagian dari revitalisasi kota tua. 

Terakhir, aku ingat punya teman di Tangerang, yang alamat rumahnya di Jalan Bencongan Raya. Aku menduga ada hubungan antara daerah tersebut dengan Souw Beng Kong, yang kerap dipanggil Ben Con oleh VOC. Namun, ini masih perlu dibuktikan lagi secara historis. 

Kamu pernah ke makam Souw Beng Kong atau tahu makam kuno di tempat lain yang tidak terawat? Share pendapat kamu di kolom komentar ya! 

Sumber:
- Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia: Souw Beng Kong
- Cinbeng: Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang
- Parnakkan Tionghoa Muslim di Batavia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan