Perempuan Penghayat Kepercayaan Belum Merdeka Sepenuhnya

Teten Masduki memberikan tanggapan atas laporan Komnas Perempuan

Indonesia tengah bersiap menyambut hari kemerdekaan yang ke-71. Umbul-umbul dan ornamen merah-putih sudah tampak di gedung-gedung lembaga pemerintahan. Pesan Indonesia Kerja Nyata terus didengungkan pihak Istana ke seluruh penjuru nusantara. Pesan ini sangat kuat menggambarkan komitmen Negara untuk hadir dan benar-benar bekerja untuk segenap rakyat Indonesia. Namun, apakah kemerdekaan itu sudah sepenuhnya dirasakan?

Walaupun sudah hampir 71 tahun Indonesia merdeka, masih banyak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan untuk menikmati hak-hak konstitusionalnya. Hal ini tergambarkan dalam laporan pemantauan Komnas Perempuan terhadap kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat. Laporan pemantauan Komnas Perempuan diluncurkan di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 3 Agustus 2016. Peluncuran ini ditujukan terutama kepada para penyelenggara Negara, para penegak hukum, lembaga-lembaga agama, tokoh agama dan masyarakat luas, agar dapat menyimak berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat.

Pemantauan Komnas Perempuan menemukan ada 115 kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh 57 perempuan dari 11 komunitas yang tersebar di 9 provinsi. Dari 115 kasus tersebut, 50 diantaranya adalah kasus kekerasan dan 65 lainnya kasus diskriminasi. Tindak kekerasan dan diskriminasi dilakukan oleh sekurangnya 87 pelaku, 52 diantaranya adalah aparat pemerintah dan 2 aparat hukum. 

Salah satu contoh diskriminasi yang dialami oleh perempuan penghayat kepercayaan adalah kasus tidak naik kelasnya Zulva di SMKN 7 Semarang. Seperti yang dilansir liputan 6, Zulva Nur Rahman dinyatakan tidak naik kelas karena kolom mata pelajaran agama kosong. Kekosongan kolom itu bukan karena kesalahan Zulva sebagai penghayat aliran kepercayaan. Namun karena sekolah tidak memfasilitasi penyediaan guru penghayat kepercayaan. SMK N 7 Semarang mencoba menawarkan solusi, yakni agar Zulva mengikuti mata pelajaran agama Islam dan berpindah ke agama Islam. Namun Zulva tetap bertahan pada keimanannya. Zulva tergolong anak pintar di kelasnya. Rata-rata mendapatkan nilai 70-85 untuk setiap mata pelajaran. Namun ia harus tinggal kelas karena kendala sistem pengajaran agama dan kepercayaan itu.

Buat aku, isu penghayat kepercayaan adalah isu yang serius, karena penganutnya mengalami kekerasan dan diskriminasi dari lahir sampai meninggal. Padahal mereka sudah ada jauh sebelum konsepsi negara ini dipikirkan. Mereka kerap distigma sebagai dukun santet, penganut aliran sesat, tidak percaya Tuhan, dan sejumlah cemoohan lainnya, hanya karena mereka teguh menjalankan kepercayaan yang sudah dijalankan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang. 

Penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat dipersulit pembuatan kartu identitasnya karena tidak ada pilihan kepercayaan yang dianutnya di kolom agama. Banyak yang seperti Zulva, dipaksa memilih 1 dari 6 agama yang diakui Negara. Mereka juga dipersulit saat ingin mencatatkan perkawinannya, sehingga banyak yang memilih tidak mencatatkan perkawinannya. Akibatnya, anak-anak yang lahir sulit mendapatkan akte kelahiran, yang ujung-ujungnya mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam mengakses pendidikan. Tidak sampai di sini, mereka pun masih didiskriminasi saat sudah meninggal. Ada beberapa tempat pemakaman umum yang menolak untuk menerima jasat mereka. 

Bisakah kita bayangkan ada sebuah Negara yang mendiskriminasi warganya sendiri, yang juga turut memperjuangan kemerdekaan, hanya karena menjalankan kepercayaannya yang sudah dijalankan sejak dulu, bahkan jauh sebelum Negara yang diperjuangkannya ini ada? 

"Penderitaan ini turun-temurun. Indonesia 71 tahun merdeka. Bhineka tunggal ika, tapi mereka memendam rasa sakit ini selama puluhan tahun" kata Azriana, ketua Komnas Perempuan, seperti dikutip CNN Indonesia

Dewi Kanti, salah seorang penghayat Sunda Wiwitan mengatakan perempuan penghayat tidak minta hal yang muluk-muluk dari Negara. Mereka hanya meminta diperlakukan sama oleh Negara. 

"Bila umat Islam diatur oleh Dirjen Agama Islam, dan umat Kristen diatur oleh Dirjen Agama Kristen di Kementerian Agama, lalu mengapa kami tidak diatur oleh kami sendiri?" 

Urusan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat diatur bukan oleh dirjen agama, melainkan oleh dirjen kebudayaan di kementerian pendidikan. Lebih lanjut, Dewi memaparkan salah satu ajaran leluhur Sunda Wiwitan tentang pentingnya mendapatkan informasi yang benar dari sumber yang tepat.

"Bila ingin tahu tentang telaga, tanyalah pada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, tanyalah pada gajah. Bila ingin tahu dalamnya lautan, tanyalah pada ikan. Bila ingin tahu harumnya bunga, tanyalah pada kumbang"

Bila Negara memang belum mengenal baik siapa itu penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat, Negara tidak perlu malu untuk mengakuinya. Negara harus menundukan hati, tanya pada narasumber yang tepat siapa mereka. 

Teten Masduki, yang hadir mewakili Presiden Jokowi menerima laporan pemantauan Komnas Perempuan, dan mengatakan negara tidak boleh mendiskriminasi penganut kepercayaan. 

"Jangan sampai negara yang hadir belakangan, justru mendiskriminasi warga negara yang sudah duluan membangun negara ini. Praktek-praktek seperti ini (kekerasan dan diskriminasi) tidak boleh terjadi lagi." Kata Teten Masduki. 

Semoga setelah menerima laporan pemantauan ini, Negara bisa benar-benar kerja nyata untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki untuk semua warga negaranya. 

Kamu punya pengalaman atau cerita tentang penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, atau pelaksana ritual adat? Share di kolom komentar di bawah ini yaa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan