Wujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual Sekarang Juga
![]() |
Aksi Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, 8 Des 2015. (Photo: Liputan 6) |
Setelah sekian lama tidak ikut demonstrasi, tanggal 8 Desember
yang lalu, aku kembali turun ke jalan bersama teman-teman jaringan muda melawan
kekerasan seksual, meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan
Anak (KPP-PA) untuk segera mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI), menetapkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ke
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016! Tuntutan ini sederhana,
tidak muluk-muluk, KPP-PA dibawah komando Mama Yohanna Yembise harus bisa
memastikan RUU ini masuk dalam prolegnas karena situasi kekerasan seksual di
Indonesia sudah darurat!
Sebetulnya RUU ini sudah diajukan di awal periode anggota Dewan
bersidang, tapi sayangnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak masuk ke
dalam daftar RUU yang akan dibahas di Prolegnas 2015. Hal ini diputuskan oleh
DPR RI dalam sidang paripurna, 9 Februari 2015 yang lalu. Tidak masuknya RUU
ini dalam Prolegnas 2015 memperlihatkan bahwa DPR RI tidak menganggap penting
isu Kekerasan Seksual. Padahal, Indonesia telah dinyatakan darurat Kekerasan
Seksual oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014 melalui
Instruksi Presiden nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan
Seksual terhadap Anak.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) pun mencatat tren kekerasan terhadap perempuan yang tiap tahun
semakin tinggi angkanya. Tahun 2014, Catatan Komnas Perempuan mencatat ada
293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan, naik dari tahun 2013 yang berjumlah
279.688 kasus. Angka kekerasan terhadap perempuan yang Komnas Perempuan rangkum
dari mitra-mitra se-Indonesia hanya merupakan puncak gunung es. Ada lebih
banyak perempuan korban kekerasan yang memilih untuk diam karena setidaknya ada
3 faktor, yakni takut, malu dan tidak tahu harus melapor ke mana. Untuk
kekerasan seksual, Komnas Perempuan mencatat ada 35 perempuan Indonesia yang
menjadi korban tiap harinya. Ini artinya tiap 2 jam, ada 3 perempuan yang menjadi
korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual pun bisa terjadi pada siapa saja, lintas
agama, lintas etnis, lintas kelas sosial, lintas segalanya, seperti yang
diungkap oleh Rieke Dyah Pitaloka, anggota DPR RI, komisi IX.
“kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja. Jangan tunggu
kekerasan seksual terjadi pada kita, keluarga kita, atau pada anak-anak kita
terlebih dahulu, baru merasa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini penting.
Saya mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” ~ Rieke Dyah Pitaloka, 13
Februari 2015 di Media Centre DPR RI.
Sejak berdiri di tahun 1998, Komnas Perempuan menemukenali ada
15 bentuk kekerasan seksual, yang oleh negara baru diakui 3 dan ini pun
terbatas. Ke-15 bentuk kekerasan seksual, antara lain, perkosaan, intimidasi
seksual, pelecehan seksual, ekspolitasi seksual, perdagangan orang untuk tujuan
seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan
aborsi, sterilisasi paksa, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, penghukuman dengan
nuansa seksual, praktik budaya bernuansa seksual, dan kontrol seksual melalui
sejumlah aturan atas nama moralitas dan agama.
Di saat yang bersamaan, negara melalui perangkat hukum Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru mengakui 3 bentuk kekerasan seksual
saja. Ini pun masih banyak batasan dalam deliknya. Misalnya saja, perkosaan.
Perkosaan yg diatur dalam KUHP harus memenuhi unsur pemaksaan penetrasi dari
penis ke vagina. Nah, apa jadinya kalau yang penetrasi tidak menggunakan penis,
melainkan alat-alat lain? Apakah ini tidak termasuk perkosaan?
Bentuk lainnya yang diakui negara adalah pelecehan seksual yang
diatur dalam perbuatan tidak menyenangkan dan perbuatan yang melanggar
kesusilaan. Pasal ini juga bias, karena seolah-olah pelecehan seksual yang
terjadi hanya berkaitan dengan norma kesopanan saja. Padahal pelecehan seksual
adalah kejahatan juga, dan merupakan tindak kriminal.
Bentuk ketiga yang diatur adalah perdagangan orang untuk tujuan
seksual yang diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang yang juga belum
secara spesifik merinci tentang perdagangan orang untuk tujuan seksual.
Situasi darurat kekerasan seksual ini menunjukkan perlunya
penanganan dan perlindungan hukum yang khusus dan menyeluruh. UU Penghapusan
Kekerasan Seksual nantinya akan menjadi payung hukum yang tidak sekedar
mempidana pelaku kekerasan seksual, tetapi juga menyediakan perangkat pemulihan
bagi korban dan pelaku kekerasan seksual, yang tidak ada dalam KUHP.
Setelah gerilya kampanye dan lobby sana-sini, RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual kini masuk ke dalam 57 daftar RUU yang diusulkan oleh DPR RI,
dan akan ditetapkan sekitar 30-37 RUU ke dalam prolegnas 2016, pada minggu
depan.
![]() |
Ayoo sms! |
Nah, kita semua bisa ikut memastikan RUU ini ditetapkan dalam
prolegnas. Cara sederhananya, ambil ponsel masing-masing, kemudian sms pentingnya
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditetapkan dalam prolegnas 2016 ke nomer hape
anggota Dewan.
Sms kamu bisa jadi sangat menentukan nasib bangsa ini ke
depannya!
Komentar
Posting Komentar