Dialog Imajiner antara Karl Marx dan Paul Lafargue
![]() |
Buku Hak untuk Malas karya Paul Lafargue, sumber: goodreads.com |
“Manusia yang bebas
adalah cita-cita, manusia yang terbatas adalah niscaya”
Sepenggal kalimat itu aku kutip dari obrolan senin malam di
kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta Pusat. Aku
mengambil kursus ekstensi filsafat di sana. Manusia yang bebas selalu menjadi
subjek pengandaian dalam perbincangan filsafat walau pada tataran realitanya manusia
(hampir) tidak ada yang bebas.
Sederhananya begini, kita sebagai manusia punya kebebasan
untuk memilih pasangan, tapi kebebasan itu selalu dibatasi oleh syarat-syarat
orang tua atau calon mertua! Nah loh!
Ngomong-ngomong soal mertua, pernahkah kamu membayangkan
calon mertua kamu adalah seorang filsuf? Malam apel bisa-bisa berubah menjadi
kelas filsafat! Mungkin inilah yang dialami oleh Paul Lafargue, menantunya Karl
Marx! Minggu lalu, aku direkomendasikan buku “Hak untuk Malas” karya Paul
Lafargue, dan setelah cari-cari profilnya di google, ternyata dia adalah
menantunya Karl Marx.
Aku lalu membayangkan bagaimana kira-kira suasana malam
apelnya Paul Lafargue di rumahnya Karl Marx, dan kira-kira beginilah dialog
imajinernya.
Karl Marx: Hai Paul, kamu duduk di sini dulu, si Laura
sedang ganti baju di kamarnya. Laura bilang pada saya, bahwa kalian akan makan
bakso di lapangan depan, apa betul itu?
Lafargue : Iya, betul Om Marx! Saya ke sini memang bermaksud
untuk mengajak Laura makan bakso di lapangan depan. Bakso ini makanan yang bisa
diterima semua kelas, dari borjuis sampai proletar, dari yang sosialis sampai
liberalis, bahkan atheis dan fundamentalis bisa duduk bersama menikmati bakso. Bakso adalah simbol pemersatu, Bakso adalah jalan menuju masyarakat tanpa kelas seperti yang Om
cita-citakan.
Karl Marx: Bukan maen! Kamu cerdas sekali dalam memilih menu
untuk kencan.
Lafargue: Iya dong, Om. Sehabis makan bakso, saya juga
berencana mengajak Laura untuk melihat bintang-bintang di taman bunga dekat
rumah pak RT.
Karl Marx: Emang ada taman bunga di deket rumahnya Pak RT?
Lafargue: Ya ada dong Om, taman bunga itu baru saja
diresmikan. Saya yang mengusulkannya ke pak Gubernur. Harapannya taman bunga
ini bisa menjadi tempat bersantainya para buruh setelah bekerja seharian di pabrik-pabrik kapitalis itu. Saya harap ada banyak buruh yang bisa bermain di taman ini
bersama keluarga mereka masing-masing. Sistem Kapitalisme tidak hanya
mengasingkan hidup mereka dari pekerjaan, tetapi juga telah mengasingkan
kehidupan buruh dari kehidupan sosialnya.
Karl Marx: Wah, bagus, kamu memang calon menantu yang tepat.
Laura tidak salah memilih kamu.
Lafargue: Bagi saya, jauh lebih baik menebarkan sampar dan meracuni mata air daripada mendirikan pabrik kapitalis di tengah suatu populasi pedesaan. Perkenalkanlah kerja pabrik, lalu ucapkan selamat tinggal kepada semua hal yang membuat hidup indah dan berharga.
Karl Marx: Nak Paul, kalau om boleh tahu, kamu sekarang
kerja di mana?
Lafargue: Anu Om, saya bekerja sebagai jurnalis di Prancis,
kadang-kadang saya juga menulis sastra. Salah satu karya saya yang cukup
menyedot perhatian publik adalah “Hak untuk Malas” atau “Rights to be Lazy”. Om
pernah baca?
Sebelum Karl Marx menjawab pertanyaan dari Lafargue, Laura
yang sudah selesai berdandan segera menarik tangan Lafargue.
Laura: Pa, Laura pergi dulu yaa sama si Paul, mau makan
bakso di depan.
Karl Marx: Oke Laura, papa titip dibungkus satu ya baksonya. Hati-hati
di jalan!
Lafargue adalah subjek dari perkataan Marx yang cukup
terkenal. Sebelum meninggal, Marx pernah mengirimkan surat ke Lafargue dan ke
Jules Guesde, pemimpin Partai Pekerja Prancis. Marx menuding menantunya itu
telah meperdagangkan frasa revolusioner. Hal inilah yang menjadi sumber ucapan
Marx, “Ce qu’il y a de certain c’est que moi, je ne suis pas Marxiste ( Yang
pasti ialah bahwa kalau mereka adalah marxis, maka saya bukanlah seorang
marxis)
Nah, sekiranya dialog imajiner antara Karl Marx dan Lafargue
bisa sedikit mengilhami kamu-kamu yang punya calon mertua seorang
filsuf. Pisss!
Daftar bacaan:
Hak untuk Malas, Paul Lafargue
Komentar
Posting Komentar