Polemik Vagina Becek
![]() |
kami diskusi, kami senang! |
Sore ini aku
terlibat dalam sebuah diskusi yang sangat menarik di ruang makan Komnas
Perempuan. Diskusi yang sangat informal, tanpa perencanaan, tanpa pembukaan,
cukup dengan segelas kopi hitam dan buah rambutan dari kebun seorang teman yang
baru saja panen. Ini salah satu yang aku senangi di Komnas Perempuan, aku bisa
berdiskusi dengan siapa saja, kapan saja dan tentang apa saja. Dari diskusi
inilah, aku bisa menemukan ide-ide dan pola pikir baru.
Diskusi sore
ini bermula dari rambutan yang “katanya”
bisa membuat vagina menjadi becek. Becek pada vagina adalah kondisi yang sangat
ditakutkan oleh masyarakat kita pada umumnya, utamanya perempuan. Becek selalu
identik dengan bau, jorok dan tidak nyaman. Becek pada vagina pun begitu. Berbagai
macam cara dilakukan agar vagina tidak berada dalam keadaan becek. Akhir-akhir
ini muncul berbagai produk perawatan vagina yang menawarkan satu kegunaan
utama, membuat vagina keset alias tidak becek! Iklan-iklan itu bisa kita lihat
setiap saat di televisi. Masing-masing produk menawarkan keunggulan masing-masing.
Ke-keset-an vagina pun menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Tapi
ternyata hal itu tidak bagus! Ibu Budi Wahyuni dalam diskusi sore itu dengan
lantang menjelaskan bahwa cairan yang dikeluarkan vagina adalah sesuatu yang
sudah diciptakan oleh Tuhan. Cairan itu akan keluar dengan sendirinya bila si
perempuan dalam keadaan terangsang seksualitasnya. Cairan itu nantinya akan
membantu proses penetrasi dari penis ke vagina. Bila cairan itu tidak ada, maka
saat penetrasi bisa saja terjadi luka akibat pergesekan yang bisa berakibat
pada penyakit menular seksual (PMS). Vagina yang keset adalah karpet merah bagi perempuan itu untuk menuju pada kematiannya. Ibu Budi Wahyuni adalah komisioner Komnas
Perempuan periode 2015-2019. Sebelum di Komnas Perempuan, Beliau selama lebih
dari 30 tahun bergelut dengan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi di
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Wacana
vagina yang keset adalah satu konstruksi yang salah kaprah. Ini adalah
propaganda yang manipulatif. Vagina yang keset saat penetrasi akan menimbulkan
kesakitan yang luar biasa, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.
Namun, karena wacana yang muncul adalah vagina yang baik adalah vagina yang
keset, maka kesakitan itu seolah terbungkam. Kesakitan selama penetrasi diganti
dengan perasaan bangga dapat melayani suami dengan vagina yang keset.
Cairan
vagina adalah alamiah, tetapi ia sering kali dianggap najis. Ia adalah abjek.
Abjek,
menurut Julia Kristeva, seorang filsuf berdarah Bulgaria adalah apa yang
mengganggu identitas, sistem, dan tatanan. Abjek adalah yang tidak menghargai
batas, posisi, dan aturan. Peminggiran abjek adalah peminggiran yang diperlukan
untuk menjaga kelangsungan hidup subjek.
Lebih lanjut,
abjek berhubungan dengan penyimpangan karena abjek dipusatkan pada super ego.
Abjek menyimpang karena abjek tidak tunduk pada larangan, aturan, atau hukum.
Abjek menimbulkan kenikmatan yang menyimpang. Di satu sisi ada keinginan untuk
meminggirkan dan mengabaikan suatu objek, di sisi lain ada kenikmatan sebagai
subjek yang melakukan atau berada di dalam proses abjeksi tersebut.
Cairan
vagina di satu sisi memberikan kenikmatan seksual, tetapi di sisi lain
dipinggirkan dan dinajiskan. Vagina yang becek tidak sesuai dengan aturan dan
tatanan alat kelamin yang ditetapkan oleh laki-laki. Penis laki-laki identik
dengan kekakuan, dan kekesetan, sehingga vagina yang lentur dan becek adalah
penyimpangan.
Wacana
kecantikan dan feminitas perempuan yang dibawakan oleh iklan produk perawatan
vagina pun tidak dapat dipisahkan dari konstruksi budaya patriakhi yang
memberikan kuasa pada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas
perempuan. Wacana tentang perempuan yang ideal adalah wacana yang dibangun oleh
laki-laki dan untuk laki-laki. Feminitas dihasilkan oleh kebudayaan, dan budaya
dalam feminitas yang ditampilkan dalam iklan adalah budaya penaklukkan terhadap
tubuh. Dalam kontek feminitas dalam iklan, tubuh perempuan dikonstruksikan
untuk menyesuaikan dengan selera laki-laki.
Maka
lengkaplah apa yang dikatakan oleh Simone de Beauvior, “One is not born, but rather becomes, a woman” bahwa seseorang perempuan
tidak dilahirkan, ia adalah proses menjadi. Perempuan adalah objek yang
dibentuk sesuai dengan selera laki-laki, Ia tidak memiliki hak atas tubuhnya,
tubuh dan seksualitasnya ditaklukan oleh laki-laki.
Narasi besar
hari ini adalah ajakan untuk semua perempuan dan laki-laki untuk keluar dari
wacana yang dikonstruksikan oleh ideologi patriakhi. Mari bersama menilai ulang
nilai-nilai yang selama ini dibangun oleh masyarakat.
Daftar Bacaan;
Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop ditulis oleh Aquarini Priyatna
titlenya luar biasa sob
BalasHapus