Otak di Selangkangan
Dua hari ini, amarah meledak-ledak! Ledakan amarah ini
dipicu dari wacana DPRD Jember untuk membuat rancangan peraturan daerah
(ranperda) yang menempatkan keperawanan sebagai indikator kelulusan sekolah.
Hal yang absurd sekali. Entah logika apa yang dipakai sama DPRD Jember sampai
mereka bisa menghukum siswi yang tidak perawan dengan tidak meluluskan
sekolahnya!
Bagiku yang harus dites bukan keperawanan, tetapi otak para
anggota DPRD Jember itu. Aku bercuriga bahwa otak mereka sudah pindah ke
selangkangan. Bagaimana tidak? Isu keperawanan selalu direkatkan dengan
moralitas dan agama, seolah-olah bahwa perempuan yang tidak perawan adalah
perempuan yang tidak baik-baik dan hanya perempuan yang perawanlah yang
merupakan perempuan baik-baik. Padahal perawan atau tidak itu hanya perkara
satu selaput. Orang-orang menamainya selaput dara.
Selaput dara identik dengan keperawanan. Padahal bentuknya
macam-macam, berbeda antara satu perempuan dengan perempuan lainnya. Ada yang
elastis, dan ada yang inelastis, bahkan ada banyak kasus perempuan lahir tanpa
selaput dara. Penyebab selaput dara robek juga macam-macam. Jatuh, olahraga
berat, berkuda bisa membuat selaput dara robek. Kekerasan Seksual apalagi! Tes
keperawanan ini mengandaikan semua keperawanan perempuan bisa dibuktikan,
padahal sekali lagi hal ini jelas tidak mungkin karena faktornya yang banyak itu. Lebih tidak
mungkin lagi menghubungkan antara moralitas dan keperawanan. Sepertinya para
anggota DPRD Jember itu kurang gaul, sehingga tidak tahu, bahwa sekarang ada
operasi untuk mengembalikan selaput dara. Jadi, lengkaplah sudah ketidakmungkinan menghubungkan antara moralitas dan keperawanan.
Bila alasan utamanya adalah untuk mencegah para siswi untutk
tidak terjebak dalam pergaulan bebas, caranya bukan dengan membuat ranperda
ini. Tapi dengan memberikan pendidikan seks dan pendidikan HAM yang
berprespektif gender. Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan seksual adalah
untuk memberikan pemahaman tentang konsekuensi dan dampak lanjutannya sehingga
anak aktif mengambil tanggungjawab untuk menunda terlibat dalam aktivitas
seksual. Melalui pendidikan HAM Berperspektif Keadilan Gender, anak didik
diharapkan dapat turut mencegah eksploitasi seksual dan bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan lainnya.1
Implikasi bila ranperda itu benar-benar disahkan (amit-amit
deh), bisa berbahaya sekali. Akan ada banyak anak perempuan yang putus akses
pendidikannya, dan hidup dalam stigma dan diskriminasi masyarakat. Bayangkan,
seseorang yang sudah mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat (karena
ketidakperawanannya), plus tidak lulus sekolah, pasti akan sangat sulit sekali
untuk mengakses roda ekonomi, yang ujung-ujungnya dia akan kembali terjerat
dalam siklus kekerasan.
Tes keperawanan bila dilihat dalam konteks yang lebih luas,
sebenarnya merupakan perwujudan dari upaya mengekang seksualitas tubuh. Pada
tubuh perempuanlah, nilai-nilai moralitas direkatkan. Upaya pembatasan
seksualitas ini merupakan akar dari ketimpangan gender yang ada. Pengekangan
hanya bisa terjadi bila ada subjek yang lebih tinggi derajatnya(dalam hal ini
laki-laki) yang berusaha untuk mengobok-obok objek (dalam hal ini perempuan).
Isu tes keperawanan bukan isu baru, isu ini sebenarnya sudah
usang walau masih banyak pejabat negara yang menggoreng isu ini untuk menampilkan
wajah moralitasnnya. Di tahun 2013, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) sudah menegaskan bahwa tes keperawanan adalah
salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan bertentangan dengan
Konstitusi. Tindakan tersebut merendahkan derajat martabat manusia dan bersifat
diskriminatif terhadap perempuan.2
Aku sendiri sejak tahun 2009, sudah mengganggap keperawanan
hanya mitos belaka, sebab aku gagal memahamkan bagaimana bisa moralitas
ditentukan hanya lewat sebuah selaput dan hanya para perempuanlah moralitas itu
diletakkan. Ini pidato yang aku buat, dan aku bacakan di depan kelas, aku beri
judul masihkkah keperawanan layak untuk diperbicangkan?
Komentar
Posting Komentar