Berebut Figur Laki-Laki
![]() |
detik foto |
Akhir-akhir ini, ada kabar menghebohkan datang dari jagat
perdangdutan. Titin Kharisma, penyanyi dangdut dari Sidoarjo, melaporkan Adam
Suseno ke Komnas Perempuan. Adam sendiri merupakan suami dari Inul Daratista,
sang ratu ngebor. Titin Kharisma melaporkan suami Inul tersebut lantaran kesal
Adam tidak mengakui anak mereka.
Pemberitaan media pun ramai berkembang. Mayoritas menyorot
perseteruan antara Titin dan Inul. Foto-foto headline pun memuat foto Inul yang
dibandingkan dengan foto Titin. Sosok Adam sendiri tidak pernah muncul. Media
(dan mungkin kita semua) sibuk menghadap-hadapkan Titin dan Inul. Padahal, Titin dan Inul tidak punya masalah apa-apa.
Beberapa tahun sebelumnya, ada juga kasus yang hampir-hampir
mirip. Masih ingatkah kita tentang Mulan Jameela yang berhadap-hadapan dengan
Maia Estianty? Mulan Jameela yang merupakan artis pendatang baru waktu itu, dilabeli
sebagai perebut suami Maia Estianty, orang yang justru mempopulerkan Mulan
lewat duo ratu. Maia sendiri dilabeli sebagai seorang istri yang gagal karena
lebih sering tampil di panggung daripada mengurusi keluarga. Ahmad Dhani malah
relatif tidak mendapat hukuman sosial dari masyarakat.
Dua kasus di atas merupakan contoh bagaimana masyarakat kita
begitu suka menonton perseteruan antara "istri tua" dan "istri muda" dan begitu
permisif bagi laki-laki yang sebenarnya merupakan akar dari masalah ini.
Mari kita lihat mengapa fenomena ini bisa terjadi. Sigmund
Freud*, seorang pakar psikoanalisa mengemukakan teori Penis Envy alias
kecemburuan pada penis. Ia mengatakan bahwa pada saat anak perempuan mengerti
tentang konsep tubuh, ia segera mengalihkan perhatiannya dari klirotis ke
penis. Ia sadar bahwa alat kelamin laki-laki lebih superior dibanding alat
kelamin perempuan. Pada saat ini, ia beralih dari pengidolaan pada ibu ke
pengidolaan ayah. Freud memberikan pemahaman baru mengapa perempuan adalah
makhluk inferior. Ini juga memulai era psikoanalisa feminis.
Beribu tahun, kita hidup dalam dunia yang menganut nilai patriakhi,
menyebabkan perempuan menginternalisasi nilai-nilai patriakhi tersebut. Dalam benak mereka, mereka adalah makhluk yang inferior dan membutuhkan laki-laki yang lebih superior. Jadi,
jangan heran, jika banyak perempuan walau mereka sudah berpendidikan tinggi dan
menduduki status sosial yang tinggi, tetap saja merasa dirinya inferior
dibanding laki-laki. Hal ini semata-mata karena sudah terinternalisasinya
nilai-nilai patriakhi dalam dirinya. Keinferioran ini dianggap sebagai hal yang
wajar.
Tokoh lain yang memperbincangkan soal ini adalah Simone de Beauvoir*. Ia mencoba menjelaskan bagaimana sulitnya bagi perempuan untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Perempuan sulit menjadi subyek sendiri. Persoalan ini dimulai ketika perempuan mulai mempercayai bahwa ia makhluk yang perlu dilindungi karena tubuhnya. Ia yakin bahwa ia adalah bagian dari laki-laki. Oleh karena itu, perempuan adalah apa yang didefinisikan oleh laki-laki. Laki-laki adalah subyek yang absolut sedangkan perempuan adalah objek.
Untuk keluar dari penis envy ini, kita harus mulai untuk
mendekonstruksi semua nilai-nilai bias gender yang ada. Kita harus mulai
mempertanyakan apa itu kebenaran. Nilai dan norma yang ada harus bisa
dipertanyakan, tidak melulu harus dilakukan tanpa tahu apa sebabnya. Setelah
terdekonstruksi, barulah bisa perempuan keluar dari keinferiorannya untuk menjadi subyek. Bahkan subject in optima forma!
*buku Filsafat Berprespektif Feminis, oleh Gadis Arivia
wih pelajaran filsafatnya diaplikasikan ke dalam blog nih :))
BalasHapusnice, bener jg sih, kenape yang diliput selalu cewe ye? seakan-akan cewenye yang salah...
teorinye keren, penis envy. woaaaahhh jadi pengen liat #eh
Iya, nih, lebih sering menyorot perempuan. Laki-lakinya diabaikan.
BalasHapusBtw baru tahu soal teori itu haha. xD
Baru mampir udah suka baca postingannya :)
BalasHapuswww.fikrimaulanaa.com