Ah, Mama Tidak Mengerti!
![]() | ||
sumber foto: wikipedia |
Mamaku tiap minggu selalu menelepon, dan kalimat awalnya
selalu sama. Setelah Halo, mama akan bilang:
“Kamu kapan keluar dari Komnas Perempuan?”
Setelah kalimat itu, kalimat keduanya pun kurang lebih
selalu sama:
“Kamu tidak akan dapat apa-apa dari Komnas Perempuan. Uang
tidak dapat, musuh malah ada di mana-mana. Nanti kamu diracun di pesawat kayak
si itu tuh, si Munir”
Setelah dua kalimat itu, giliran aku menjawab. Jawabanku
biasanya juga selalu sama,
“Ahh, Mama tidak mengerti!”
Lamunanku malam itu lantas pergi ke sosok Soe Hok Gie, sosok
yang sudah aku gandrungi sejak aku SMP. Gie ketika kuliah juga mengalami apa
yang aku alami, atau lebih tepatnya aku mengalami apa yang dialami oleh Gie
dulu.
Mamanya Gie juga begitu. Di tiap-tiap malam, Gie sehabis
demontransi, Mamanya akan bilang:
“Gie, untuk apa ini semua ? Kamu tidak dapat uang malah
tambah musuh saja!”
Dengan tenang, Gie bilang: “Ah, Mama tidak mengerti!”
Rabu terakhir di Agustus, aku diminta untuk ke daerah Grogol
oleh seorang teman. Aku kira hanya akan jadi pertemuan lepas rindu semata, tapi
ternyata aku salah. Di malam itu, sembari ditemani Ice Americano, aku mendengar
keluhnya. Ia bercerita tentang Mama, tentang mata sipit dan kulit kuning
langsat yang ia miliki, juga tentang hasratnya menjadi aktivis penolong sesama.
Aku menangkap kegalauan dari nanar matanya.
Aku ingat beberapa bulan lalu, ada seorang teman yang datang
ke kantor untuk wawancara Ibu wakil ketua Komnas Perempuan. Sehabis wawancara,
aku ajak dia makan. Makan di sore itu tak sekedar makan biasa. Sambil makan, ia
bercerita, tentang mamanya, tentang mata sipit dan kulit kuning langsat yang ia
miliki, juga tentang hasratnya menjadi pencari dan penyebar berita kebenaran.
Teringat aku pada teman seangkatanku. Kami sama-sama bermata
sipit dan berkulit kuning langsat. Aku ingat tetesan air matanya yang tumpah
saat ia ditelpon oleh mamanya. Bukan sebuah telepon biasa, bukan telepon
tentang rasa rindu, tetapi telepon tentang ultimatum bahwa ia adalah seorang
bermata sipit dan berkulit kuning langsat dan tidak boleh bermimpi untuk
berkerja di bidang sosial. Ia menyerah!
Sambil terisak, Ia akhirnya memilih bekerja untuk salah satu multinational
company!
Aku lalu ingat dengan sebuah tulisan di buku Aku MemilihDamai yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan. Buku itu berisi cerita lima
perempuan, salah satunya Andy Yentriyani. Ada satu paragraf yang sangat
menarik. Paragraf ini menjadi tembok tempat bersandar dan berlindung dari
telepon mama yang selalu mengingatkan tentang tidak bolehnya seorang bermata
sipit dan berkulit kuning bercita-cita menjadi pekerja sosial.
Begini bunyi paragraf tsb:
“Hari ini sudah aku putuskan, Aku tidak mau lagi hidup sebagai
orang yang tunduk dan selalu ketakutan,
hanya karena bermata sipit dan berkulit kuning, hanya karena menjadi seorang
perempuan. Setiap orang seharusnya dapat hidup sebagai seseorang yang punya hak
yang sama dengan yang lainnya, sebagai manusia, sebagai warga negara sah di
negeri ini.”
Mamaku lahir di tahun
1963, tumbuh dewasa dalam politik orde baru. Sebagaimana kehidupan orang-orang
bermata sipit waktu itu, mamaku dan teman-temannya menjadi yang liyan. Mereka
tidak tahu cara menjalani hidup selain bersembunyi dan tunduk dalam ketakutan.
Yang mereka tahu hanya menumpuk materi yang banyak, materi yang mungkin saja
akan menjadi penyelamat mereka kelak. Aku tidak menyalahkan masa lalunya.
Bagiku, bergabung dengan Komnas Perempuan di usia yang
bahkan belum genap 22 tahun adalah suatu kehormatan. Komnas Perempuan lahir
dari tragedi Mei 1998, tragedi imbas perebutan politik, runtuhnya ekonomi dan
sentimen rasial yang sengaja dipelihara. 16 tahun Komnas Perempuan berdiri,
masih setia untuk merawat bangsa ini dengan cinta damai dan tanpa kekerasan!
Dari kecil, aku sudah putuskan aku akan bekerja di tempat
yang paling keren sedunia, dan hari ini aku tidak tahu ada tempat yang lebih
keren dari Komnas Perempuan!
Malam ini sepertinya akan sama, Mama akan telepon kembali.
Setelah Halo, mama akan bilang:
“Kamu kapan keluar dari Komnas Perempuan?”
Setelah kalimat itu, kalimat keduanya pun kurang lebih
selalu sama:
“Kamu tidak akan dapat apa-apa dari Komnas Perempuan. Uang
tidak dapat, musuh malah ada di mana-mana. Nanti kamu diracun di pesawat kayak
si itu tuh, si Munir”
Setelah dua kalimat itu, giliran aku menjawab. Jawabanku
seperti biasanya,
“Ahh, Mama tidak mengerti!”
Komentar
Posting Komentar