Reviktimisasi Korban Kekerasan Seksual!
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan |
Haloo ...
Kali ini aku mau
berbagi tentang istilah “reviktimisasi”. Adakah yang sudah tahu istilah ini?
Bila belum, sila lanjut membaca postingan ini. Reviktimisasi sendiri merupakan
istilah yang juga baru saja aku pelajari sejak aku bergabung dengan Komnas
Perempuan. Yuks kita diskusi tentang istilah ini!
Reviktimisasi
berasal dari bahasa Inggris: Revictimization. Istilah ini sendiri sampai saat
ini, belum aku temukan padanan bahasa Indonesianya. Reviktimisasi dapat
diartikan sebagai proses seorang korban kekerasan seksual menjadi korban
kembali! Reviktimisasi ini bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk kamu loh
walau mungkin kamu tidak sadar!
Reviktimisasi
yang lazim berupa stigma dari masyarakat yang dilekatkan ke perempuan korban
kekerasan seksual. Sederhananya begini, pernahkah kamu ikut-ikutan menyalahkan
korban kekerasan seksual? Dalam masyarakat Indonesia yang sedari kecil sudah
ditanamkan pola pikir patriakhi, sering kali kita bukannya memberi dukungan
kepada korban kekerasan seksual, malah ikut menyalahkan korban. Misalnya, ada
perempuan mengalami perkosaan. Sering kali kita berkomentar:
“itu kan
gara-gara pakaian dia, siapa suruh dia pakai celana pendek”
Atau
“Lagian dia sih
yang nyari gara-gara, ngapain juga malam-malam keluyuran”
Komentar-komentar
ini tentu saja menyesatkan! Perkosaan dan kekerasan seksual lainnya tidak
terjadi karena pakaian korban, tetapi karena pola pikir si pemerkosa! Komentar
di atas itu kemudian membuat korban memilih untuk menutup diri dan menerima
takdirnya. Kita terlalu sering mengurusi korban dan membiarkan pelaku
melenggang bebas!
Contoh lain
reviktimisasi yang masif terjadi misalnya suatu masyarakat mendiskriminasi
salah seorang warganya karena dirinya pernah menjadi korban kekerasan seksual. Anggap
saja ada seorang penjual kue kering, sehari-harinya dia berjualan di pasar.
Dari hasil pejualan kue ini, ia bisa menyambung hidup. Suatu ketika ia
mengalami kekerasan seksual berupa perkosaan. Pasca kejadian itu, ia kemudian
di-black campaign (mengutip istilah yang sangat populer ini). Ada sebagian
masyarakat yang memprovokasi warga lainnya untuk tidak membeli kuenya karena
dia adalah korban perkosaan. Siapa juga
keles yang mau jadi korban kekerasan seksual?
Yang lain yang
sering kali mereviktimisasi korban adalah Aparat Penegak Hukum (APH)! Kog bisa?
Bisa saja hal ini terjadi dan banyak terjadi. Saat perempuan korban kekerasan
seksual melapor ke APH. APH tersebut malah kemudian melontarkan pertanyaan dan
pernyataan yang menyudutkan korban tersebut. APH sering menanyakan ke korban, “kamu
ikut goyang enggak?” atau “tapi enakan?”. Tentu saja hal ini tidak sepantasnya
dilontarkan oleh APH. Bukannya menangkap pelaku, eh malah merektivimisasi
korban!
Terakhir yang
juga sering mereviktimisasi korban adalah media! Media massa sering tidak mengindahkan
kode etik jurnalistik dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Padahal,
dalam kode etik tersebut sudah dengan jelas ditulis batas-batas pemberitaan.
Media sering kali masih menampilkan identitas korban yang meliputi foto wajah
korban, nama korban, alamat korban, atau ciri khas korban. Selain itu, media
massa juga sering kali menulis detail-detail kekerasan seksual yang dialami
perempuan korban.
Media massa juga
sering kali tidak melakukan verifikasi kejadian yang sebenarnya. Yang tak kalah
menyesakkan adalah, media massa sering lupa bahwa mereka adalah media. Media
massa sering merasa sebagai Tuhan yang bisa menghakimi perempuan korban dalam
pemberitaannya. Atas nama sensasi dan rating, media massa menggadai nilai-nilai
jurnalistik yang seharusnya menjadi landasan pemberitaan!
Dalam tataran
konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan
paradigma partiarkhi, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Imbasnya,
sering kali tutur-tutur perempuan tidak didengar. Implikasi lebih lanjut bagi
perempuan utamanya perempuan korban kekerasan seksual adalah seringnya
perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat. Hal
ini tentunya harus kita stop! Mereka butuh dukungan bukan penghakiman dari
kita!
Komnas
Perempuan, 22 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar