Resensi Buku: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan
![]() | ||
Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan! |
Membaca buku ini serasa berjalan di lorong-lorong penuh
tanda tanya tentang apa yang terjadi di pertengahan bulan Mei di tahun 1998.
Lembar demi lembar mengantarkan kita pelan-pelan menyibak segala misteri yang
menyelimuti tragedi paling mencekam di akhir abad ke-20. Buku ini ditulis
dengan sangat baik dan runut oleh seorang jurnalis, kontributor Tempo di
Australia yang bertugas waktu itu. Seperti khasnya laporan jurnalistik, buku
ini ditulis secara gamblang, apa adanya. Peristiwa kelam itu dituliskan dengan
terang benderang berdasarkan pengamatan dan wawancara dari para pelaku sejarah.
Tak seperti laporan pelanggaran HAM lainnya, buku ini
ditulis dengan renyah. Kata-kata yang dipilih penulis lugas dan tegas tanpa
kesan jelimet. Membaca kalimat demi
kalimat ibarat sedang menonton sebuah pertunjukan opera musikal yang sangat
dimudah untuk dicerna. Penonton dibawa ke dalam alur cerita menit per menit.
Detail-detail kejadian yang ditulis membuat setiap pembaca merasa ada dalam
tragedi itu.
Tragedi Mei 1998 sampai hari ini masih menyisakan begitu
banyak misteri di dalamnya, salah satunya adalah tentang perkosaan masal yang
terjadi. Dewi Anggraeni, si penulis pada awalnya juga tidak percaya bahwa
negeri ini bisa begitu kejam. Dewi juga
tidak mampu untuk membayangkan bagaimana bisa negeri yang katanya ramah tamah
ini berubah bak neraka bagi perempuan-perempuan etnis Tionghoa yang juga
merupakan warganya. Sampai akhirnya, Dewi bertemu dengan korban perkosaan masal
yang dilarikan ke Melbourne. Pertemuannya dengan korban membuat Dewi menyesal
pernah meragukan adanya perkosaan masal di Mei 1998.
Dalam buku ini juga, penulis mengutip banyak sekali
fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
tentang perkosaan masal yang terjadi. Setidaknya ada 85 perempuan menjadi
korban dari perkosaan masal, sebagian besarnya ada perempuan etnis Tionghoa.
Dewi juga menggambarkan pola-pola yang ada selama tragedi itu. Ada pola yang
sama di tempat-tempat terjadinya kerusuhan. Pola-pola mengindikasikan kerusuhan
itu tidak terjadi begitu saja, tetapi sudah direkayasa.
Buku setebal 214 halaman ini juga mengupas tentang lahirnya
Komnas Perempuan. Komnas Perempuan tidak bisa dilepaskan dari tragedi Mei 1998.
Komnas Perempuan merupakan anak sulung reformasi. Lembaga ini merupakan lembaga
pertama yang lahir sejak reformasi digulirkan.
Perkosaan masal yang terjadi mendorong aksi masa menuntut negara meminta
maaf dan bertanggung jawab atas setiap tindakan kekerasan yang terjadi. Penulis
begitu piawai mengumpulkan data-data yang ada, tentu saja ini tidak terlepas
dari latar belakangnya sebagai seorang jurnalistik.
Generasi muda yang belum lahir atau terlalu kecil saat
tragedi itu mengoyak nilai-nilai pluralisme di negeri ini tentunya harus
membaca buku ini untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya terjadi tanpa harus
takut dihadapkan dengan kalimat-kalimat yang susah dimengerti. Buku ini merupakan perpaduan sempurna dari
data-data khas buku sejarah dengan kata-kata ringan ala novel-novel remaja.
Pada akhirnya, buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas
Perempuan ini merupakan langkah kongkret dari upaya merawat ingatan kolektif
untuk mencegah keberulangan tragedi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak
melupakan sejarahnya, sebab sejarah manusia tidak dapat dibungkam.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus