Aku Jatuh Cinta pada Komnas Perempuan dan Segala Perjuangannya
![]() |
Kantor Komnas Perempuan, diambil dari Tempo.co |
Tulisan ini aku persembahkan untuk Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan atau yang biasa kita kenal dengan Komnas
Perempuan. Tulisan ini aku beri judul Aku Jatuh Cinta pada Komnas Perempuan dan Segala Perjuangannya.
Tulisan ini aku tulis pula sebagai bagian dari merawat ingatan kolektif dan
juga sebagai jawaban dari berbagai pihak yang senantiasa bertanya mengapa aku
memilih Komnas Perempuan. Aku bagi tulisan ini ke dalam tiga bagian, awal
jumpa, jatuh cinta, dan peneguhan cinta.
Awal Jumpa.
Mungkin ini yang dinamakan Takdir Ilahi. Aku pertama kali
berkenalan dengan Komnas Perempuan itu jelang akhir tahun 2011. Waktu itu aku
sedang ada di halte busway Bendungan Hilir, aku lupa hendak ke mana. Aku
melihat ada sebuah spanduk besar dengan warna pink yang sangat menarik
perhatian. Spanduk itu tergantung di halaman kampus Unika Atmajaya, menghadap
ke jalan Sudirman. Di spanduk itu ditulis Kampanye 16 Hari untuk Selamanya.
Sebuah penamaan yang indah dan puitis untuk sebuah kampanye. Ada sebuah diskusi
publik yang diadakan oleh kampus Atmajaya tentang internet, pornografi dan
anak. Diskusi ini menghadirkan Nia Dinata dan beberapa narasumber yang aku lupa
namanya.
Tiba saat acara diskusi itu diselenggarakan, aku datang
terlambat sore itu. Seperti umumnya diskusi, aku terlebih dahulu registrasi di
meja panitia. Kutulis nama, nomer ponsel, juga email, tak lupa tentunya tanda
tangan. Diskusi berlangsung cukup menarik walau cukup sepi yang datang. Tak
kusangka, pertemuan itulah yang nantinya akan mengubah hidupku.
Setelah diskusi di kampus Atmajaya itu, aku sering mendapat
kiriman undangan acara-acara Komnas Perempuan melalui email. Sering aku
berkunjung ke kantor Komnas Perempuan di daerah Menteng. Ada satu acara yang
aku ingat, sebuah diskusi tentang prespektif jurnalis dalam memberitakan
kasus-kasus Kekerasan Seksual. Yang datang waktu itu Ibu Uni Lubis, anggota
Dewan Pers dan juga Pemred di ANTV. Dia bercerita tentang kode etik jurnalistik
yang mengatur bagaimana pemberitaan ini dilakukan oleh seorang wartawan. Aku
yang kebetulan seorang mahasiswa jurnalistik waktu itu merasa topik ini sangat
kontekstual dengan bidang keilmuan yang aku tekuni. Dari sana, aku bertekad
untuk juga menyelenggarakan diskusi sejenis di kampusku, Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Tarumanagara.
Pertengahan 2012, aku terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) di Fakultasku. Aku punya kewenangan untuk merencanakan program
kerja. Kewenangan itu, lantas aku gunakan untuk menyelenggarakan satu seminar
nasional tentang prespektif feminisme dalam pemberitaan oleh jurnalis yang
disambung oleh diskusi buku PORNO karya Ahmad Junaidi, dosenku yang juga
merupakan wartawan Jakarta Post. Seminar itu menghadirkan Ibu Uni Lubis. Tak
ketinggalan, aku juga mengundang teman-teman Komnas Perempuan sebagai salah
satu pembedah buku PORNO. Aku mendapat kontak Komnas Perempuan dari Kaka
Yulita, staf redaksi yang nomer ponselnya hampir selalu ada di setiap email
dari Komnas Perempuan. Kaka Yulita inilah yang nantinya banyak membantuku
selama proses perekrutan di Komnas Perempuan.
Awal tahun 2013, aku memasuki semester ke-8, saat-saat akhir
seorang mahasiswa di kampusnya. Untuk menyelesaikan studiku, aku perlu magang
sebagai salah satu syaratnya. Aku bingung mau magang di mana. Aku ingin tempat
magang yang anti mainstream. Aku ingin magang di satu tempat yang ketika aku
sebutkan, orang-orang akan terhenyak. Aku tidak ingin magang di media. Bukan
karena apa-apa, karena teman-temanku sudah banyak yang magang di media. Aku
pikir bila aku magang di media, tentu saja tidak menambah khazanah tempat
magang di perpustakaan kampusku.
Di tengah kecamuk batin mengenai tempat magang, datanglah
sebuah email dari redaksi Komnas Perempuan. Lantas aku berpikir kenapa tidak
aku magang di redaksi Komnas Perempuan? Langsung aku hubungi Kaka Yulita untuk
menanyakan bisa atau tidaknya aku magang di salah satu Lembaga HAM Nasional
ini. Responnya cepat dan Puji Tuhan positif. Cukup lama waktu itu jarak waktu
dari pengiriman lamaran sampai ke proses pemanggilan, aku sempat hilang
harapan.
Pertengahan Maret 2013, aku akhirnya dipanggil untuk
interview. Hore! Aku ingat waktu itu, aku diwawancara oleh Mba Site, Bang Chris
dan Ka Friska. Mba Site adalah Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat,
divisi yang melingkupi Redaksi, tempat aku magang nanti. Bang Chris merupakan
asisten redaksi dan Ka Friska dari SDM Komnas Perempuan. Puji Tuhan, aku
diterima sebagai staf magang di Komnas Perempuan. Aku merupakan yang pertama
magang di divisi Partisipasi Masyarakat. 1 April 2013, hari pertama aku masuk
kantor. Minggu sebelumnya, aku mengikuti orientasi karyawan baru yang diadakan
di Hotel Acacia.
Dari Orientasi itu, aku tahu bahwa Komnas Perempuan lahir
dari tuntutan masyrakat sipil tentang Perkosaan Massal yang terjadi di Mei
1998. “Komnas Perempuan adalah anak sulung reformasi”. Kata-kata itu diucapkan
oleh Ibu Yuniyanti Chuzaifah, ketua Komnas Perempuan. Kata-kata yang akan aku
ingat selalu.
Masa-masa magangku menyenangkan. Aku diterima dengan baik di
Komnas Perempuan. Di sana, aku belajar banyak tentang isu-isu perempuan. Aku
seperti punya keluarga baru. Ruangan divisi Partisipasi Masyarakat ada di
Lantai 1, ada 6 orang di dalamnya. Ada Mba Site, Bang Chris, Kaka Yulita, yang
sudah aku perkenalkan sebelumnya. Ada juga (Alm) kaka Rere, seorang asisten
kampanye, yang punya dedikasi luar biasa terhadap lembaga ini. Ada juga Marcus,
seorang relawan dari Australia dan tentu saja aku sendiri. Oh ya, Divisi
Partisipasi Masyarakat ini diketuai oleh ketua Subkom, Mba Andy Yentriyani,
nanti akan ada banyak cerita tentang sosok ini di bagian tengah dan akhir
cerita.
Aku bertemu banyak sekali orang-orang baru yang luar biasa. Beberpa
di antaranya seperti @simponii, grup band yang mendedikasikan lagu-lagunya
sebagai kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Aku juga dua kali
meliput konpres kekerasan yang dialami oleh DJ Verni dan Ardina Rasti. Untuk
cerita lengkapnya aku magang bisa diklik loh di sini.
Jatuh Cinta
Di penghujung masa magangku, Aku ke Solo, mengikuti
rangkaian kegiatan Napak Tilas Reformasi Mei 1998 yang dilaksanakan oleh Komnas
Perempuan, Jejer Wadon dan pemda Solo. Kegiatan itu merupakan agenda tahunan
yang diadakan oleh Komnas Perempuan untuk merawat ingatan guna mencegah
keberulangan. Entah apa yang mendorongku untuk ke Solo. Seminggu sebelum
kegiatan itu, aku ada di Wonogiri, mengikuti bakti sosial yang diadakan oleh
kampusku. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, aku memutuskan untuk berhenti di
Solo. Aku menginap di sebuah hotel murah di tengah kota. Perjalananku di Solo
ini yang lantas mengubah jalan cerita hidupku. Di Solo, para korban tragedi Mei
1998 berkumpul dan bercerita. Aku yang waktu 1998 baru berumur 6 tahun
sesungguhnya tidak tahu tentang tragedi itu.
Ada seorang Ibu, Tionghoa, pemilik Toko Roti Ganeps, yang
toko rotinya habis dibakar massa waktu itu bercerita tentang asap-asap hitam
yang menggepul di angkasa, tentang ada sekelompok orang naik truk yang
tiba-tiba datang dan memprovokasi warga sekitar. Ada juga cerita dari Andy
Yentriyani, seorang Tionghoa muda, dari Pontianak, yang pas 1998 adalah
mahasiswi HI-UI, yang tergoncang entitas dirinya pasca tragedi itu. Ada juga
banyak puisi-puisi yang dibacakan sembari berurai air mata. Satu puisi yang
paling aku ingat berjudul Bapa Kami karya Soe Tjen Marching. Puisi-puisi ini
disatukan dalam buku yang berjudul Merawat Ingatan Rahim.
Aku sendiri pun berurai air mata saat cerita-cerita yang
tidak pernah aku dengar itu diucap lirih. Aku sebagai seorang Tionghoa muda,
dan sebagaimana Tionghoa muda lainnya punya kegamangan sendiri dalam menghadapi
takdir hidup di negeri ini. Cerita-cerita itu sungguh menguras emosi. Negeri
ini dibangun atas dasar luka yang selalu ditutupi tanpa pernah disembuhkan.
![]() |
Usut Tuntas Perkosaan Masal Mei 1998 |
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca
tragedi itu menemukan bahwa ada 85 orang yang menjadi korban perkosaan masal.
Mayoritas adalah etnis Tionghoa. Bagamana bisa negeri ini begitu mengerikan?
Adalah Bohong bila hari ini ada orang-orang yang haus kekuasaan yang mengatakan
bahwa perkosaan masal yang terjadi di Mei 1998 hanya omong kosong! Komnas
Perempuan adalah bukti paling hakiki bahwa memang benar terjadi kekejian itu!
Lepas dari perjalanan di Solo, aku kembali ke Jakarta,
mengejar deadline skripsiku.
Empat hari setelah aku sidang skripsi. Aku hadir ke acara
Rabu Perempuan. Rabu Perempuan adalah sebuah diskusi publik yang sangat santai
yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan setiap dua minggu sekali di Kedai
Tjikini, Jakarta Pusat. Diskusi ini membahas berbagai isu-isu perempuan. Setiap
penjualan yang terjadi pada hari itu, sebagiannya akan disumbangkan ke Pundi
Perempuan, yang digunakan untuk menyediakan layanan rumah aman bagi perempuan
korban kekerasan.
Di sana aku kembali bertemu dengan Andy. Dia menawariku
untuk menjadi relawan di KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran).
KKPK adalah sebuah koalisi dari LSM-LSM yang perduli pada penuntasan
pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas Perempuan sebagai salah satu lembaga
yang perduli terhadap isu itu menyumbangkan relawannya untuk membantu kerja-kerja
KKPK dan relawan itu adalah aku. Aku
mulai bekerja untuk KKPK, 1 Agustus 2013. Aku senang sekali dapat bergabung
dengan KKPK. Di sini aku belajar banyak hal baru, utamanya tentang apa itu
pelanggaran HAM Berat masa lalu. Sehari-hari aku berkantor di AJAR (Asia
Justice and Rights) di Menteng.
Tugasku sebagai relawan sebenarnya sederhana, cukup membantu
memastikan acara Dengar Kesaksian berjalan dengan sukses. Dengar Kesaksian
diselenggarakan di Perpustakaan Nasional, akhir November 2013. Acara ini
berlangsung selama 5 hari, KKPK mengundang para korban pelanggaran HAM Berat
masa lalu untuk datang dan bercerita tentang tragedi yang menimpanya.
Cerita-cerita itu langsung membuatku ingin sekali merobek-robek buku sejarah
yang selama ini aku pelajari di bangku sekolah. Hampir semua cerita di buku
sejarah itu bohong!
Ada banyak sekali cerita-cerita yang membuat aku merinding
untuk membayangkannya. Ada cerita tentang Ibu-Ibu di Papua yang mengalami
kekerasan seksual selama masa Perpera. Ada juga cerita tentang Jamaah Ahmadyah
yang harus terusir dari tempat tinggalnya yang sudah ditempatinya puluhan tahun.
Ada juga cerita tentang komunitas penganut Ajaran Sunda Wiwitan, aliran
kepercayaan yang sudah ada sebelum negara ini ada, yang justru malah mengalami
diskriminasi demi diskriminasi. Ada banyak juga cerita tentang para buruh-buruh
tani yang tanahnya dicaplok perusahaan-perusahaan raksasa! Semua cerita-cerita
itu membuatku takut membayangkan tinggal di negeri yang indah ini.
![]() |
Suasana Dengar Kesaksian, diambil dari KKPK.org |
Aku selama 1 minggu tinggal bersama mereka, mendengar banyak
kisah langsung dari sumbernya. Kesaksian-kesaksian
mereka membuatku berpikir ulang, bahwa bukan hanya Ketionghoaan saja mengalami
kekerasan demi kekerasan tinggal di negeri ini, tetapi juga mereka para
minoritas agama, para rakyat-rakyat jelata dan rakyat-rakyat di pelosok.
Selama aku di KKPK, aku bertemu dan berkenalan dengan
teman-teman baru yang luar biasa dedikasinya. Aku juga banyak bertemu dengan
teman-teman mahasiswa yang sebenarnya punya interes terhadap isu ini. Hanya
saja tidak tahu harus mencari ke mana.
Selesai acara Dengar Kesaksian, aku kembali menjadi relawan
di Komnas Perempuan. Aku membantu persiapan launching website
www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id . Website ini memungkinkan setiap
kita untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi. Tahun 2013, Komnas
Perempuan mencatat ada lebih dari 200.000 kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan. Lebih dari 3/4nya dilakukan oleh orang-orang terdekat. Angka itu
hanya angka yang tercatat. Hanya 1 dari 8 korban yang kemudian mencatatkan
kasusnya. Jadi bisa dibayangkan betapa mengerikannya angka kekerasan seksual
yang sebenarnya.
![]() | |
Peluncuran website www.kekerasanseksual.komnasperempuan.or.id, diambil dari Uca News |
Sebagai langkah awal mempersiapkan peluncuran website
tersebut. Kami (ada 4 orang, aku, Dian, Renita dan Raisa) diminta untuk
memasukan 1000 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari media massa. Kami
setiap orangnya harus membaca setidaknya 250 kasus kekerasan seksual yang
terjadi. Membaca kasus demi kasus membuatku mengerti betapa lapisan sosial
budaya di negara ini tidak perduli terhadap korban-korban kekerasan seksual.
Mereka sibuk menyalahkan korban, menyalahkan pakaian korban alih-alih menangkap
dan mengutuki pelaku!
Selesai masa tugasku sebagai relawan terhitung 20 Desember
2013. Aku memutuskan untuk mewakafkan diri dalam perjuangan ini bersama Komnas
Perempuan. Bila nantinya Komnas Perempuan tidak menerimaku, aku akan tetap
berkerja dengan isu-isu yang sama dengan Komnas Perempuan. Banyak perusahaan
yang menawariku pekerjaan. Kesemuanya aku tolak, aku sudah terlanjur cinta
dengan Komnas Perempuan.
Peneguhan Cinta
![]() |
Buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, karya Dewi Anggareni |
Sebagaimana cinta antar dua insan, yang selalu ada gejolak,
Cintaku pun demikian adanya. Cinta kami tidak direstui orang tuaku.
Aku lahir di tengah-tengah keluarga Tionghoa yang
konvensional. Sebagaimana kehidupan Tionghoa pada umumnya, aku tinggal di
pemukiman Tionghoa, sekolah di sekolah kristen yang mayoritas Tionghoa. Kakekku
lahir di Kanton, Cina Selatan. Masa mudanya, ia merantau ke Indonesia. Ia
kemudian menetap di Binjai, sebuah kota dekat dengan Medan. Kakekku lantas
mengalami segala bentuk diskriminasi karena ketionghoaannya, seperti surat
ujian kewarganegaraan, dll. Ayahku lahir di Binjai, dibesarkan dalam suasana
orde baru yang sangat-sangat anti budaya Tionghoa. Ayahku berdagang sebagaimana
Kakekku dulu. Mungkin hanya itu yang dia tau untuk bertahan hidup sebagai orang
Tionghoa di negara ini, dengan bekerja keras, menjauhi urusan politik, dan
jangan melawan ketika ditagih uang keamanan.
Aku menolak untuk menghadapi takdirku! Sedikit banyaknya aku
dipengaruhi oleh Film Soe Hok Gie, tahun 2005. Sosok Soe Hok Gie seperti seolah
menjawab kegamanganku tentang entitas yang aku sandang ini. Soe Hok Gie,
seorang Tionghoa yang tidak takut menjadi apa yang ia cita-citakan. Aku sungguh
berterima kasih kepada Riri Reza yang seluruh tim yang berhasil membuat film
yang sangat bagus itu.
Imlek di awal tahun 2014, seperti biasa kami berkumpul di
rumah nenek untuk merayakan imlek bersama. Hadir di siang itu, seluruh keluarga
besar. Di sana, aku “disidang” perihal perkerjaanku di Komnas Perempuan. Betapa
sulitnya menjelaskan apa itu Komnas Perempuan bahkan ke saudara-saudara yang
lebih muda. Aku tidak menyalahkan keluargaku atas pola pikirnya yang konvensional,
memang begitulah adanya. Aku tetap pada pendirian akan bergabung dalam
perjuangan ini apa pun resikonya.
Teringat aku akan kata-kata seniorku di kampus, yang juga
seorang Tionghoa. Yohannes Fernando namanya. Ia yang mengajakku pertama kalinya
bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia pernah
mengatakan bahwa kita sebagai orang Tionghoa ibarat sapi perahan. Setiap hari
bekerja keras dari pagi sampai malam. Uang-uang yang kita hasilkan harus kita
relakan saat ditagih segala macam iuran siluman! Mau sampai kapan kita begini.
Kita sebagai orang Tionghoa muda yang dewasa pasca orde baru harus berani
mendobrak stigma itu!
Begitu pun dengan Andy, yang harus berusah payah menjelaskan
perjuangannya kepada Ibundanya di Pontianak yang sampai hari ini pun belum sepenuhnya
mengerti...
Akhirnya aku diterima di Komnas Perempuan terhitung sejak 17
Februari 2014, 1 minggu sebelum ulang tahunku yang ke 22! Aku diterima sebagai
staf kampanye Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional (GK
PKHN). Aku makin mengenal isu-isu yang dikawal oleh Komnas
Perempuan. Dua bulan pertama aku bekerja, aku langsung dihadapkan dengan
kampanye JITU (Jeli, Insiatif, Toleran dan Ukur). Kampanye Jitu adalah kampanye
penguatan pemilih pemula agar tidak salah memilih calon-calonnya di legislatif.
Aku berkeliling pulau Jawa, utamanya Jawa Barat dan Banten. Aku menelusuri
pondok-pondok pesantren dan daerah-daerah terpencil di Tasikmalaya, Sukabumi,
Bandung, Cirebon dan Pandeglang. Aku melihat gambaran Indonesia yang
sebenarnya, yang jauh dari apa yang kita lihat di Bunderan HI, Jakarta! Setelah
itu, aku kemudian bersentuhan dengan dunia baru, dunia disabilitas dan LBT
(Lesbian, Biseksual, Transgender). Sungguh satu dunia yang pernah aku geluti
sebelumnya.
Memasuki bulan Mei, kembali Komnas Perempuan mengadakan
Napak Tilas Reformasi. Kali ini aku terlibat aktif sebagai salah satu
panitianya. Napak Tilas kali ini berfokus di Jakarta. Komnas Perempuan bersama
jaringan keluarga korban dan pemda DKI akan membuat satu prasasti Mei 98 di TPU Pondok
Ranggon. Prasasti itu dibuat oleh Ibu-Ibu korban, bentuknya Jarum, yang
melambangkan keinginan untuk merajut kembali nilai-nilai kebangsaan yang sudah
koyak oleh tragedi itu.
![]() |
Nisan Korban Tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon |
Banyak yang mempertanyakan alasan napak tilas ini diadakan.
Banyak pula yang menilai napak tilas ini tidak penting karena hanya akan
mengungkit luka lama. Memang betul, mengingat itu sakit sekali rasanya.
Melupakan jauh lebih sakit! Aku pernah bertemu dengan salah seorang Jerman di
pusat kebudayaan Jerman di Jakarta. Ia mengatakan bahwa Jerman dan Indonesia
itu punya satu kesamaan. Kesamaan itu adalah sama-sama pernah mengalami tragedi
kemanusiaan yang luar biasa mengerikan. Kita tahu, di Jerman pernah ada Nazi
yang membunuh 6 juta Yahudi. Bedanya, Jerman menuliskan itu di buku-buku pelajaran
sejarah di sekolah-sekolah Jerman dengan harapan generasi muda Jerman tidak
melakukan hal yang sama lagi dengan pendahulunya itu. Bagaimana di Indonesia? Kita
semua tahu jawabannya!
Tulisan ini sengaja aku buat sebagai juga bagian dari
merawat ingatan guna mencegah keberulangan tragedi! Untuk para korban Mei 1998,
mereka tidak boleh mati sia-sia... Kita harus saling menjaga agar peristiwa itu
tak pernah terjadi lagi....
Komentar
Posting Komentar