Ong Pik Hwa, Sang Kartini dan Superwoman Indonesia

Ong Pik Hwa (kedua dari kanan) dan keluarga

Sebentar lagi kita akan memperingati hari Kartini, sebagai simbol perjuangan kaum perempuan melawan budaya yang tidak adil gender. Namun, di postingan ini aku tidak akan menulis tentang sosok Kartini, karena tentunya sudah banyak yang menulisnya. Di postingan kali ini, aku akan menulis tentang sosok Ong Pik Hwa yang dijuluki "superwoman" oleh Myra Sidharta. 

Siapa Ong Pik Hwa dan mengapa ia dijuluki "superwoman"? Mari kita berkenalan! Oh ya, sebelum berkenalan, aku mau bilang bahwa hampir sebagian besar dari tulisan ini dikutip dari buku Biografi Delapan Penulis Peranakan: Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman karya Myra Sidharta.

Ong Pik Hwa lahir pada 1906, tahun kuda api. Menurut perhitungan Tionghoa, perempuan yang lahir di tahun kuda api mempunyai sifat mandiri dan berani menghadapi segala tantangan. Ayahnya bernama Ong Ban Djoen, seorang pengusaha kayu yang sangat terkenal di Ungaran. Ong Ban Djoen bahkan memiliki sebuah dermaga di Semarang untuk mengakut kayu ke daerah lain dan bahkan ke luar negeri. Ibunya (tidak dituliskan namanya) juga mempunyai usaha sendiri di rumah, yaitu memproduksi bedak dingin, kecap dan minyak kelapa. 

Sejak kecil, Ong Pik Hwa sangat mandiri dan pandai. Setamat sekolah dasar, ia disekolahkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Pada masa itu, belum banyak anak perempuan yang masuk sekolah menengah, apalagi sekolah Belanda, sehingga banyak orang yang mengkritik keputusan Ong Ban Djoen menyekolahkan Ong Pik Hwa. Akhirnya, Ong Ban Djoen memutuskan untuk menghentikan sekolah putrinya yang telah berlangsung selama dua tahun. Ong Pik Hwa lalu dipingit seperti lazimnya anak gadis pada masa itu. Di rumah, Ong Pik Hwa belajar memasak dan menjahit. Ayahnya sadar bahwa putrinya tidak betah hanya berdiam diri di rumah. Oleh karenanya, ia mengizinkan putrinya untuk membantu di kantor. 

Ong Pik Hwa menikah, tetapi dia memutuskan untuk pindah ke Batavia setelah merasa tidak cocok dengan suaminya. Dia pun meninggalkan dua anaknya bersama ibunya. Ibunya tidak menyetujui keputusannya itu, karena tindakan tersebut tentu akan memicu gosip, apalagi mereka keluarga kaya dan terpandang.

Di Batavia, Ong Pik Hwa dibantu ayahnya mendirikan perusahaan perkayuan. Usahanya ini membawa keuntungan yang lumayan, tetapi dia tidak merasa puas. Ong Pik Hwa ingin mempunyai pekerjaan yang lebih intelektual. Sejak tahun 1935, Ong Pik Hwa sering menulis esai untuk majalah mingguan Sin Po, yang mempunyai rubrik khusus untuk tulisan dalam bahasa Belanda. Tulisan Ong Pik Hwa umumnya mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat Tionghoa pada masa itu yang lebih rendah dibanding laki-laki. 

Kedudukan perempuan Tionghoa pada masa itu yang berada di bawah subordinasi laki-laki dapat dilihat dari hukum adat Tionghoa yang dimuat dalam Bintang Soreabaia, edisi 29 Oktober 1887, yang berbunyi:

Kong Hoe Tjoe soeda berkata: prampoewan itoe kebawahnja manoesia laki. Maka itoe dia tiada wajib aken bikin samahoenja sendiri. Aken tetapi dia memang misti toeroet koewadjiban hal kabektian tiga: djikaloe dia misih toeroet sama iboe bapanja dia misti toeroet printahnja orang toewanja; djikaloe dia soeda kawin dia misti toeroet printahnja jang laki; djikaloe dia rondo misti mendengar anaknja laki jang paling toewa. Maka trada ada hal jang dapet di sebabken aken dia bolih bikin samahoenja sendiri.

Pada 15 Desember 1937, Ong Pik Hwa memutuskan untuk menerbitkan majalah perempuan dalam bahasa Belanda dengan nama Fu Len (perempuan). Majalah Fu Len merupakan majalah dwi mingguan, yang terbit setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Dalam salah satu edisinya, tercantum sebuah kalimat, Tijdschrift voor de Chinese vrouw yang berarti majalah untuk perempuan Tionghoa. 

Melalui majalah Fu Len, Ong Pik Hwa memiliki beberapa keinginan, yaitu memajukan dan memberdayakan kaum perempuan, memberi penjelasan tentang kebudayaan Tionghoa yang sebagian besar masyarakat Tionghoa tidak mengetahuinya lagi dan yang ketiga, menyadarkan para pembacanya, yang meskipun menerima pendidikan Belanda, tidak boleh melupakan bahwa mereka sebenarnya adalah orang Timur, sehingga tidak perlu terlalu hidup secara kebarat-baratan. 

Seperti lazimnya sebuah majalah, pada halaman pertama biasanya terdapat tulisan dari redaksi. Di majalah Fu Len, Ong Pik Hwa cukup tajam dalam menulis pendapatnya. Selain itu, ada pula tulisannya di rubrik Op de drempel van het nieuwe leven (di ambang pintu kehidupan baru). Dalam rubrik ini, ia menulis tentang dirinya sendiri, dari masa kecil hingga menginjak dewasa. 

Ia bercerita, ketika masih kecil ia jatuh sakit dan harus berobat ke klenteng dengan membakar kertas-kertas yang bertuliskan huruf mandarin. Ketika menulis tentang pengalamannya di sekolah Belanda dia berpendapat bahwa dia memasuki suatu dunia yang sangat jauh berbeda degan dunia sehari-harinya di rumah. Ibunya mengenakan pakaian yang berbeda dengan ibu gurunya. Ibu guru selalu berbahasa Belanda, sedangkan ibunya selalu berbahasa Jawa-Melayu. Hal yang paling ia sesalkan adalah ia kurang menerima kehangatan dari ibunya. Ketika ia sudah dapat membaca buku-buku cerita Belanda, ia merasa iri kepada anak-anak Belanda yang dirangkul dan dicium oleh ibu mereka, sedangkan ibunya selalu sibuk dengan usahanya. 

Kritik terhadap ibunya menjadi lebih tajam ketika ia menginjak remaja. Ibunya banyak melarang dan memberi pantangan. Setelah ia dewasa, sikap ini menjadi  bermusuhan, karena ia berpendapat bahwa ibunya materialistis ketika memilih pasangan hidup untuknya. Ibunya juga menolak calon yang dia ajukan karena calonnya tersebut 'hanya seorang yang bekerja di kantor'. 

Rubrik lain adalah rubrik masakan yang menyajikan menu-menu untuk pesta dan sehari-hari. Ia memadukan masakan Tionghoa, Jawa dan Belanda dalam rubrik tersebut. Selain itu, ada juga rubrik menjahit, membuat pola dan menata ruangan. 

Di terbitan-terbitan akhir yang ditulis dari Bandung, Ia menyerukan kepada pembaca untuk terus aktif dan siap menghadapi Jepang dan bergabung dengan organisasi-organisasi untuk memberi pertolongan kepada korban perang seperti pertolongan pertama untuk korban yang cedera, atau dengan membuka dapur umum. 

Selama invasi Jepang, banyak tokoh Tionghoa dan para wartawan surat kabar yang ditawan oleh Jepang. Ong Pik Hwa mengetahui bahwa dia juga berada dalam daftar orang yang dicari karena kegiatannya sebagai redaktur majalah dan artikel-artikel yang tidak simpatik terhadap Jepang. Ia bersyukur terhindar dari penangkapan karena sebelumnya ia telah pindah ke Bandung. 

Pada tahun 1951, Ong Pik Hwa masih sempat menulis satu esai mengenai perempuan dan pekerjaan sosial dalam buku peringatan lima tahun Sin Ming Hui. Ketika itu, ia menulis dengan nama P. Oeyanghuat. Ong Pik Hwa menghembuskan nafas terakhirnya pada 1972, dan diperabukan di Jelambar, di krematorium yang didirikannya sendiri.

Selain Ong Pik Hwa, ada banyak lagi perempuan Tionghoa yang mencoba untuk mendobrak tradisi yang tidak adil gender melalui praktik literasi seperti surat kabar maupun tulisan di media lain, seperti Song Ong Siang yang tidak henti-hentinya menuduh kaum lelaki menjadi penyebab budaya tidak adil gender "Adalah ayah, kakak laki-laki dan suami yang melarang perempuan menuntut pelajaran dengan dalih mereka hanya akan dirugikan". Penggalan kalimat itu dikutip dari majalah The Straits Chinese Magazine tahun 1987 dalam buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa

Narasi-narasi tentang tokoh-tokoh perempuan Tionghoa lainnya, akan aku tulis di postingan yang lain yaaa! Oh ya, kalau kamu mengetahui tokoh pendobrak budaya yang tidak adil gender, yang selama ini kurang mendapat perhatian, share di kolom komentar yaa!


Baca juga:
Berkenalan dengan Nyonya Auw Tjoei Lan, Sang Kartini Tionghoa
Ho Wan Moy, Sang Srikandi Indonesia

Sumber:
Buku Biografi Delapan Penulis Peranakan: Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman
Buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa
Buku Ny. Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Iklan yang Tidak Seharusnya Diiklankan