Dialog Imajiner antara Karl Marx dan Paul Lafargue

Buku Hak untuk Malas karya Paul Lafargue, sumber: goodreads.com “Manusia yang bebas adalah cita-cita, manusia yang terbatas adalah niscaya” Sepenggal kalimat itu aku kutip dari obrolan senin malam di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta Pusat. Aku mengambil kursus ekstensi filsafat di sana. Manusia yang bebas selalu menjadi subjek pengandaian dalam perbincangan filsafat walau pada tataran realitanya manusia (hampir) tidak ada yang bebas. Sederhananya begini, kita sebagai manusia punya kebebasan untuk memilih pasangan, tapi kebebasan itu selalu dibatasi oleh syarat-syarat orang tua atau calon mertua! Nah loh! Ngomong-ngomong soal mertua, pernahkah kamu membayangkan calon mertua kamu adalah seorang filsuf? Malam apel bisa-bisa berubah menjadi kelas filsafat! Mungkin inilah yang dialami oleh Paul Lafargue, menantunya Karl Marx! Minggu lalu, aku direkomendasikan buku “Hak untuk Malas” karya Paul Lafargue, dan setelah cari-cari profilnya d...