Pemaksaan Busana oleh Negara
Hari ini hari terakhir di Juli 2014. Ada satu kabar duka
dari negeri Somalia. Di sana ada seorang gadis yang mati ditembak karena
menolak mengunakan Jilbab. Berita tersebut sampai di Indonesia via
Kompasdotcom. Berita ini cukup menggemparkan, bahkan sampai menjadi trend di
media sosial.
Tentunya hal ini bukan hal baru. Di Indonesia, pemaksaan berjilbab
atau pemaksaan untuk tidak boleh berjilbab juga terjadi, bahkan masif,
sistematis dan terstruktur (meminjam istilah Om Wowo). Keduanya merupakan
pemaksaan busana pada tubuh perempuan yang dilegalkan oleh negara lewat
sejumlah peraturan daerah. Perempuan tidak lagi punya kuasa atas tubuhnya
sendiri. Mereka tidak bisa lagi mengenakan pakaian yang mereka pilih, padahal
pakaian ada bagian dari kebebasan berekspresi.
Berjilbab itu bagus, bagus sekali malah. Tapi apabila
berjilbab di atur oleh negara, maka boleh jadi suatu saat nanti negara akan
melarang penggunaan Jilbab. Mari kita berandai-andai, anggap saja 2014 kita
dapat presiden yang mewajibkan penggunaan Jilbab. Nah 2019, kita sebaliknya
dapat presiden yang melarang penggunaan Jilbab. Kita sebagai warga negara pasti
kerepotan dan kebingungan. Untuk itu, Jilbab dan busana lainnya biarlah
individu individu yang mengaturnya. Kembalikan otonomi atas tubuh ke
pemiliknya.
Komnas Perempuan menemukenali ada 342 Perda diskriminatif
yang menyasar tubuh perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Dari 342 perda
tersebut, sebagian besarnya mengatur bagaimana seorang perempuan mengenakan
busananya.
Aku jadi ingat kata Ibu Ketua Komnas Perempuan, Ibu
Yuniyanti Chuzaifah. Kurang lebih, beliau bilang:
“Tubuh Perempuan tak ubahnya
seperti medan perang, tempat para elit politik bertarung untuk meraih suara”
Realita memang seperti itu, isu-isu tentang Jilbab, maksiat,
prostitusi selalu menjadi isu yang digoreng menjelang pemilihan kepala daerah.
Kembali ke soal perda diskriminatif, coba kita cek perda
kota Tasikmalaya no 12 tahun 2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan
yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat
kota Tasikmalaya. Perda ini baru bagian judul saja sudah bermasalah. Perda ini
jelas-jelas ingin merubah konstitusi dan landasan negara kita, Pancasila! Di pasal 11 dari perda tersebut dengan jelas akan kita
temui pengaturan busana di lingkungan instansi pemerintahan!
Kita cek lagi perda Tangerang no 8 tahun 2005 tentang
pelarangan pelacuran. Di pasal 4 perda dituliskan kurang lebih setiap orang
yang dianggap mencurigakan bahwa dia adalah pelacur di wilayah kota Tangerang,
maka ia bisa ditangkap.
Perda Tangerang ini kemudian mendapat banyak sorotan
setelah ada korban salah tangkap. Ada seorang buruh perempuan lagi nunggu bis
di pinggir jalan yang kemudian ditangkap oleh satpol pp karena dianggap
mencurigakan. Padahal, dia waktu ditangkap pakai celana panjang dan jaket.
Berita penangkapan ini menjadi begitu heboh di lingkungan tempat ia tinggal. Ia
kemudian mengalami stigmatisasi dari lingkungan. Ia kemudian dipecat dari
tempat ia bekerja. Suaminya, seorang guru, juga dipecat karena dianggap
beristrikan pelacur. Mereka kemudian hidup berpindah-pindah di tengah stigma
dan diskriminasi. Si perempuan yg saat itu sedang hamil muda akhirnya meninggal
dalam keputusasaan.
Tragedi di Tangerang tersebut dibuat filmnya oleh Komnas
Perempuan, diberi judul ATAS NAMA. Kalau kamu-kamu mau pinjam boleh saja, nanti
aku bantu.
Komnas Perempuan sedang berupaya utk membatalkan semua
perda yang diskriminatif itu. Tapi ya gitu, selalu buntu. Tarik menarik
kekuatan politik di daerah terlalu kuat!
Kalau perda di atas ngomongin soal pengaturan busana
perempuan, lain lagi di Gorontalo. Di Gorontalo, perempuan bahkan diatur jam
hidupnya. Pasal 6 perda Gorontalo no 10 tahun 2003 dengan jelas ditulis
perempuan tidak boleh berjalan sendirian di luar rumah mulai pukul 24.00 sampai
pukul 04.00 pagi. Negara gagal menjamin keselamatan warganya, sampai-sampai
warganya disuruh diam di rumah aja biar tidak kena apa-apa ....
Abis nulis tulisan ini, aku yakin pasti ada yang mencela,
tapi ya aku ra popo .... Tetep pada pendirian bahwa negara harus mengembalikan
otoritas tubuh kepada yang empunya. Negara urus saja soal kesehatan,
pendidikan, ekonomi, keamanan dan lain-lain. Urusan akhlak dan moral biar
individu yang atur ....
Tambahan: di Komnas Perempuan sama sekali tidak ada
pengaturan busana buat para badan
pekerjanya. Di sini, kami semua bebas mau pakai apa saja, asal tidak malu ....
nice post ^_^
BalasHapuswi, ak boleh pnjam bukunya kah? tq