Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2014

Ah, Mama Tidak Mengerti!

Gambar
      sumber foto: wikipedia Mamaku tiap minggu selalu menelepon, dan kalimat awalnya selalu sama. Setelah Halo, mama akan bilang: “Kamu kapan keluar dari Komnas Perempuan?” Setelah kalimat itu, kalimat keduanya pun kurang lebih selalu sama: “Kamu tidak akan dapat apa-apa dari Komnas Perempuan. Uang tidak dapat, musuh malah ada di mana-mana. Nanti kamu diracun di pesawat kayak si itu tuh, si Munir” Setelah dua kalimat itu, giliran aku menjawab. Jawabanku biasanya juga selalu sama,  “Ahh, Mama tidak mengerti!” Lamunanku malam itu lantas pergi ke sosok Soe Hok Gie, sosok yang sudah aku gandrungi sejak aku SMP. Gie ketika kuliah juga mengalami apa yang aku alami, atau lebih tepatnya aku mengalami apa yang dialami oleh Gie dulu. Mamanya Gie juga begitu. Di tiap-tiap malam, Gie sehabis demontransi, Mamanya akan bilang: “Gie, untuk apa ini semua ? Kamu tidak dapat uang malah tambah musuh saja!” Dengan tenang, Gie bilang: “Ah, Mama tidak mengerti

Kritik Atas Konsep Ruang Publik ala Jurgen Habermas

Gambar
suasana diskusi Halooo kawan-kawan! Kali ini aku akan berbagi pengalamanku ketika ikut diskusi mengenai narasi kritik pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang publik yang ideal. Diskusi ini dihelat di markas Suara Kita, organisasi yang mengadvokasi hak-hak LGBT. Diskusi berjalan menarik bersama narasumber Dewi Candraningrum. Jurgen Habermas di tahun 1962 mengajukan konsep Strukturwandel der Offentlichkeit yang menekankan bahwa negara demokrasi yang sehat dipengaruhi oleh ruang publik yang sehat. Ruang Publik oleh Habermas didefinisikan sebagai berkumpulnya orang-orang untuk berdiskusi berdasarkan rasionalitas. Mula-mula, ruang publik muncul ketika orang-orang borjuis berdiskusi tentang sastra, politik di kedai-kedai kopi di Prancis.  Buku Narasi Kritik Pemikiran Jurgen Habermas Dewi Candraningrum dengan kerangka teori feminisnya mengkritik konsep Habermas tersebut. Bagi Dewi, Habermas adalah seorang filsuf yang buta gender. Habermas lupa memikirkan tentang

7P Mengapa Laki-Laki Melakukan Kekerasan

Gambar
Dokumentasi Laki-Laki Baru Halo Halo .. Kali ini aku akan berbagi cerita tentang pengalamanku mengikuti Forum Belajar Maskulinitas dengan tema Psikologi Laki-Laki dan Kekerasan. Forum Belajar ini diadakan oleh Aliansi Laki-Laki Baru di Coffee War kemarin sore (16/7). Ada beberapa hal yang aku pikir cukup menarik untuk aku bagikan, utamanya tentang 7P kenapa Laki-Laki sering kali melakukan kekerasan.   Hadir sebagai narasumber (teman belajar ~ istilah yang dipakai oleh Aliansi Laki-Laki Baru) adalah Cahyo dari Yayasan Pulih. Cahyo mengutip penelitian dari Michael Kaufman: The 7 P’s Men’s Violence. Sebelum masuk ke sana, aku ingin mengajak para pembaca untuk merefleksikan masa kecil kita. Sadarkah kita bahwa dari sejak kecil (bahkan sejak janin), Perempuan dan Laki-Laki sudah dibeda-bedakan. Ada konstruksi sosial, peran dan harapan yang berbeda yang disematkan ke Laki-Laki dan Perempuan. Laki-Laki sering kali diharapkan mampu menjadi sosok pemimpin yang mampu menyel