Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015

Dialog Imajiner antara Karl Marx dan Paul Lafargue

Gambar
Buku Hak untuk Malas karya Paul Lafargue, sumber: goodreads.com “Manusia yang bebas adalah cita-cita, manusia yang terbatas adalah niscaya” Sepenggal kalimat itu aku kutip dari obrolan senin malam di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta Pusat. Aku mengambil kursus ekstensi filsafat di sana. Manusia yang bebas selalu menjadi subjek pengandaian dalam perbincangan filsafat walau pada tataran realitanya manusia (hampir) tidak ada yang bebas.  Sederhananya begini, kita sebagai manusia punya kebebasan untuk memilih pasangan, tapi kebebasan itu selalu dibatasi oleh syarat-syarat orang tua atau calon mertua! Nah loh! Ngomong-ngomong soal mertua, pernahkah kamu membayangkan calon mertua kamu adalah seorang filsuf? Malam apel bisa-bisa berubah menjadi kelas filsafat! Mungkin inilah yang dialami oleh Paul Lafargue, menantunya Karl Marx! Minggu lalu, aku direkomendasikan buku “Hak untuk Malas” karya Paul Lafargue, dan setelah cari-cari profilnya di go

Kebungkaman Korban Kekerasan Seksual dalam Tinjauan Teori Spiral Keheningan

Gambar
Diam tak selamanya emas! Sore itu, kedai kopi ini tiba-tiba sunyi. Semua lidah pengunjung yang tengah menikmati kopi seperti dikunci. Tak ada suara selain kicau dua ekor gagak yang tengah nangkring di pohon mangga persis di depan kedai ini. Semuanya diam membisu.  Kesunyian itu pun pecah, saat seorang perempuan muda di pojok ruangan, mengangkat tangan sembari berkata lirih, “Aku pernah menjadi korban pelecehan seksual” . Sontak semua mata langsung menuju perempuan itu untuk menunggu kalimat selanjutnya. Ia melanjutkan kalimatnya, “Lima tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, pantatku pernah diraba oleh guru agamaku. Rasanya aku malu dan marah sekali. Guru itu mengancam agar aku tidak melaporkan pelecehan ini atau aku tidak akan diluluskannya. Aku bingung, marah, dan malu saat itu” Pengakuan itu pun disambut riuh rendah tepuk tangan para pengunjung kedai. “Terima kasih sudah berbagi cerita” , kata seorang perempuan lainnya yang duduk di tengah-tengah kedai

Cap Go Meh di Pontianak dan Singkawang yang Bukan Maen

Gambar
Purnama Cap Go Meh difoto dari tengah kota Pontianak   Purnama yang paling sempurna adalah purnama yang muncul di malam ke-15 setelah tahun baru. Oleh karenanya, ia dirayakan. Malam ke-15 ini pula merupakan petanda berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. Orang-orang Tionghua memaknai malam ini secara spesial. Ia adalah Cap Go Meh! Cap Go Meh dalam dialek Hokian secara harfiah berarti Malam ke-15. Aku pun tak mau ketinggalan merayakan Cap Go Meh. Aku ambil cuti dari kantor untuk bergegas ke Pontianak untuk seterusnya ke Singkawang, untuk larut dalam keriuhan kota merayakan Cap Go Meh. Di Pontianak dan Singkawang, Cap Go Meh dirayakan secara begitu meriah, dengan arak-arakan ratusan tatung berkeliling kota. Festival ini sudah secara turun temurun dilaksanakan dan menjadi magnet ribuan turis untuk ke sana. Aku pergi sendirian dengan bekal seadanya, tiket pesawat, kaca mata hitam dan buku Amoy. Buku Amoy terbitan Kompas ditulis oleh dosenku di kampus dulu, Mia Ye. Buku ini be