Kebungkaman Korban Kekerasan Seksual dalam Tinjauan Teori Spiral Keheningan
Diam tak selamanya emas! |
Sore itu, kedai
kopi ini tiba-tiba sunyi. Semua lidah pengunjung yang tengah menikmati kopi
seperti dikunci. Tak ada suara selain kicau dua ekor gagak yang tengah
nangkring di pohon mangga persis di depan kedai ini. Semuanya diam membisu.
Kesunyian itu
pun pecah, saat seorang perempuan muda di pojok ruangan, mengangkat tangan
sembari berkata lirih, “Aku pernah
menjadi korban pelecehan seksual”. Sontak semua mata langsung menuju
perempuan itu untuk menunggu kalimat selanjutnya. Ia melanjutkan kalimatnya, “Lima tahun lalu, saat aku masih duduk di
bangku sekolah, pantatku pernah diraba oleh guru agamaku. Rasanya aku malu dan
marah sekali. Guru itu mengancam agar aku tidak melaporkan pelecehan ini atau
aku tidak akan diluluskannya. Aku bingung, marah, dan malu saat itu”
Pengakuan itu
pun disambut riuh rendah tepuk tangan para pengunjung kedai. “Terima kasih sudah berbagi cerita”,
kata seorang perempuan lainnya yang duduk di tengah-tengah kedai. Perempuan
ini, kemudian meminta kesediaan pengunjung lainnya untuk berbagi pengalaman
serupa. Satu per satu perempuan di kedai itu, bercerita tentang kekerasan
seksual yang mereka alami. Pengakuan
demi pengakuan atas pengalaman pahit itu pun muncul menyeruak ke permukaan.
Di akhir sesi diskusi,
perempuan yang menjadi narasumber ini menutup sesinya dengan sebuah pernyataan
yang menarik, kurang lebih begini,
“Aku sering diminta mengisi diskusi semacam
ini. Di setiap diskusi, aku selalu meminta kesediaan para hadirin yang
sekiranya memiliki pengalaman pahit tentang kekerasan seksual untuk bercerita.
Biasanya, banyak perempuan yang hadir saat itu, secara bergantian bercerita
seperti sore ini. Namun, dari sejumlah yang banyak itu, hanya sedikit yang
berani melaporkan kasusnya.”
Pernyataan dari
narasumber tersebut membuat otakku terangsang untuk berpikir mengapa perempuan
korban kekerasan tidak berani melaporkan kasusnya. Komnas Perempuan dalam
catatan tahunannya selalu menyebut angka kekerasan terhadap perempuan yang
tinggi hanya merupakan puncak gunung es. Ibu Yuniyanti Chuzaifah dalam tiap orasinya,
menyebutkan bahwa hanya 1 dari 8 perempuan korban kekerasan yang berani
melaporkan kasusnya, 7 lainnya memilih diam. Setidaknya ada 3 faktor yang
membuat perempuan korban kekerasan memilih diam menurut beliau.
Faktor pertama
adalah takut. Banyak perempuan korban kekerasan menjadi korban yang pelakunya
memiliki relasi kuasa dan status sosial yang lebih tinggi yang membuat mereka
takut untuk melaporkan kasusnya, misalnya kekerasan terhadap perempuan yang
dilakukan oleh ayah ke anak, paman ke keponakan, majikan ke pembantu atau guru
ke muridnya. Faktor kedua adalah rasa malu. Budaya Indonesia pada umumnya
membagi perempuan dalam dua golongan, golongan yang baik-baik dan golongan yang
tidak baik-baik. Perempuan yang digolongkan sebagai perempuan baik-baik adalah
mereka yang mampu menjaga “kesuciannya”, sehingga bila perempuan itu gagal
menjaga “kesuciannya”, mereka dianggap perempuan tidak baik-baik. Ini
mengakibatkan perempuan korban kekerasan seksual sering kali merasa dirinya
bukan lagi perempuan baik-baik karena tidak mampu menjaga “kesuciannya”. Hal
ini kemudian diperparah lagi dengan stigma dari masyarakat tentang perempuan
yang tidak baik-baik itu. Mereka yang digolongkan sebagai perempuan tidak
baik-baik sering kali menjadi bahan pergunjingan. Menceritakan kekerasan
seksual yang dialami sama artinya dengan membiarkan masyarakat menempatkan
dirinya ke golongan perempuan tidak baik-baik. Faktor terakhir adalah perempuan korban
kekerasan sering kali tidak tahu harus melaporkan kasusnya ke mana. Banyak perempuan korban kekerasan yang
tinggal di pelosok-pelosok nusantara tidak memiliki akses yang memadai untuk
melaporkan kasusnya.
Nah, Lebih lanjut,
aku ingin mengelaborasi fenomena ini dengan teori Spiral Keheningan yang pernah
aku pelajari di semester dua di kampus dulu. Teori Spiral Keheningan atau The Spiral of Silence Theory dikemukakan
oleh Elizabeth Noelle Newmann dalam bukunya yang berjudul The Spiral of Silence: Public Opinion-Our Social Skin. Teori ini sering dipakai untuk menganalisa media.
Teori Spiral
Keheningan adalah satu dari sedikit teori yang berfokus dan berpijak pada opini publik.
Teori ini merupakan salah satu teori yang wajib dipelajari di kuliah ilmu komunikasi.
Noelle Newmann mengidentifikasi Opini Publik sebagai sikap yang dapat
diekspresikan tanpa memunculkan bahaya akan isolasi terhadap dirinya.
Ada 3 asumsi
dasar dari Teori Spiral Keheningan ini. Yang pertama, teori ini mengasumsikan
bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk mengancam individu-individu yang
berbeda pendapat dengan masyarakat tersebut dengan isolasi. Noelle Newmann percaya bahwa ketika individu
sepakat dengan nilai yang dianut oleh masyarakat, ia tidak takut diisolasi. Sebaliknya,
bila individu tersebut tidak sepakat dengan nilai masyarakat tersebut, maka
ketakutan diisolasi akan muncul.
Asumsi kedua menyatakan
bahwa individu-individu secara terus menerus menilai arah opini publik. Penilaian
itu dilakukan lagi-lagi karena rasa takut akan diisolasi. Penilaian opini
publik dilakukan dengan dua cara, yakni melalui observasi personal dan media.
Observasi personal sering kali salah dan tidak akurat. Noelle Newmann mengemukan
pendapatnya tentang observasi personal ini dengan menyatakan bahwa individu
sering kali merasakan ketidaksadaran pluralistik (pluralistic ignorance). Untuk Media, individu-individu
menggunakannya untuk mengkonfirmasi atau tidak mengkonfirmasi pendapat mereka.
Asumsi ketiga
dari teori ini menyatakan bahwa perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan
opini publik. Noelle Newmann percaya bahwa individu memiliki keengganan untuk
mendiskusikan suatu topik yang tidak memiliki dukungan mayoritas masyarakat.
Dalam konteks
korban kekerasan seksual, para korban biasanya enggan untuk melaporkan kekerasan
yang dialaminya karena pendapat mayoritas masyarakat berbeda dengan pendapat
mereka. Dalam persepsi masyarakat Indonesia, perempuan sering kali ditunding
menjadi faktor utama terjadinya kekerasan seksual. Mereka adalah pihak yang bersalah, ‘perempuan penggoda’ atau tidak
mempunyai akhlak yang baik dan oleh karenanya sudah sepantasnya mendapat
tindakan kekerasan seperti yang dialaminya. Kondisi seperti ini diperparah dengan
pernyataan-pernyataan pejabat publik yang seharusnya memberi perlindungan dan menjadi
model yang menciptakan kenyamanan, tetapi justru mengeluarkan pernyataan yang melemahkan
korban, seperti “... sudah sepantasnya
perempuan menjadi korban karena penampilannya atau pakaiannya ...”
Rasa takut akan
diisolasi dari masyarakat membuat perempuan korban kekerasan menutup rapat
kekerasan yang ia alami. Rasa takut akan diisiolasi ini pula yang dipakai oleh
pelaku untuk semakin mengeksploitasi korban dan mencari korban berikutnya.
Lebih lanjut,
Elizabeth Noelle Newmann juga mengidentifikasi bahwa ada para minoritas yang
diam dan mulai bangkit. Kelompok ini tetap menyuarakan pendapatnya walau
berbeda dari opini mayoritas tanpa takut akan diisolasi dari masyarakat.
Kelompok ini dinamai para Hard Core.
Para Hard Core mewakili sekelompok
individu yang tahu bahwa ada harga yang harus dibayar bagi ketegasan sikap
mereka. Mereka tidak takut akan ancaman isolasi, mereka akan tetap menyuarakan
pendapat mereka. Para Hard Core
memiliki peran yang sangat penting untuk membalik opini publik.
Komnas
Perempuan, para penyintas, aktivis dan para korban yang berani melaporkan
kasusnya adalah mereka-mereka yang pantas diidentifikasi sebagai para Hard Core. Mereka sadar bahwa sikapnya
yang menentang opini mayoritas akan mengakibatkan mereka dicibir oleh mayoritas
publik. Namun, mereka tetap lantang memperjuangkan apa yang mereka yakini
sampai suatu saat nanti opini publik ini akan berbalik.
Beranilah
bersuara, diam tak selamanya emas.
Daftar
Referensi:
Buku 2, Pengantar
Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi, West & Turner
Catahu Komnas
Perempuan 2014
http://en.wikipedia.org/wiki/Elisabeth_Noelle-Neumann
Komentar
Posting Komentar