Tantangan Government Public Relations 2016

PR Indonesia Meet Up #1
Jumat kemarin, 22 Januari 2016, aku menyambangi Gedung Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Kedatanganku bertujuan untuk mengikuti PR Indonesia meet up pertama, yang diselenggarakan oleh PR Indonesia dan Serikat Perusahaan Pers (SPS Indonesia), di Hall SPS Indonesia, lantai 6 Gedung Dewan Pers. Kegiatan ini bertujuan sebagai wadah koordinasi dan konsolidasi praktisi-praktisi PR pemerintah, PR perusahaan swasta dan perusahaan konsultan PR. Rencananya kegiatan ini akan rutin diselenggarakan tiap bulannya. 

PR Indonesia meet up yang pertama mengambil tema "Government Public Relations (GPR) Outlook 2016: Humas Pemerintah Mau Dibawa ke Mana ?. Tema ini diambil agar praktisi PR pemerintah mampu menangkap proyeksi peluang di tahun 2016. Sepanjang tahun 2015, setidaknya telah ada tanda-tanda bahwa presiden menaruh perhatian serius pada perbaikan komunikasi, mulai dari ditandatanganinya inpres no 9 tahun 2015 tentang pranata humas, pembentukan badan koordinasi humas, sampai pelantikan Tenaga Humas Pemerintah (THP).

Eko Sulistyo, Deputi IV Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Endah Kartikawati, Ketua Umum Ikatan Pranata Humas (IPRAHUMAS) dan Ismail Cawidu, Jubir Kementerian Komunikasi dan Informatika hadir sebagai narasumber diskusi. Hadir pula tokoh PR senior yang sudah malang melintang di dunia PR, Elizabeth Goenawan Ananto dan Maria Wongsonagoro. Diskusi berjalan asik, aku mendapat banyak insight baru dari PR Indonesia meet up ini. 

Menjadi GPR itu tidak mudah, apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Setidaknya ada 3 tantangan, yang dihadapi oleh GPR menurut Eko Sulistyo, yakni makin kompleksnya stakeholder yang terlibat dan saling mempengaruhi, makin kaburnya kategori media massa mainstream dan media sosial, dan makin cepatnya arus informasi. 

Hal senada juga disampaikan oleh Ismail Cawidu, yang mengambil contoh kasus bom di sarinah beberapa waktu lalu. Bom di Sarinah begitu cepat menjadi viral. Cuitan pertama terjadi 18 menit setelah ledakan, dan sepanjang hari menjangkau lebih dari 67,8 juta. Respon pemerintah hadir 4-5 jam kemudian setelah ledakan. Ada jeda selama 4-5 jam yang hilang, arus informasi menjadi bias dan ke mana-mana. Berita-berita hoax bertebaran. 

Jeda 4-5 jam ini harus bisa dikikis agar semakin kecil. Inilah yang menjadi tantangan GPR. GPR yang baik menurut Maria Wongsonagoro harus bekerja saat krisis belum terjadi. Di Perusahaan swasta, ada tools untuk mengejar real time. Dalam menghadapi krisis, prinsipnya harus proaktif bukan reaktif.

Tantangan ini yang harus bisa dijawab oleh teman-teman IPRAHUMAS, THP maupun praktisi GPR lainnya. Koordinasi dan konsolidasi jelas harus terus dilakukan, dan tidak lupa buang jauh-jauh ego sektoral. Niscaya, jarak antara kerja-kerja pemerintah dan persepsi masyarakat akan semakin kecil. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan