Jugun Ianfu Termuda itu bernama Sri Soekanti
Sri Soekanti |
Tulisan ini aku dedikasi untuk para nenek-nenek penyintas
Jugun Ianfu yang kini masih berjuang untuk memperoleh hak-haknya. Tulisan ini
juga aku persembahkan ke kamu-kamu yang tidak pernah mendengar apa itu Jugun
Ianfu. Anggap saja ini bagian dari merawat ingatan, meneruskan cerita, agar
kita tidak lupa tentang suatu peristiwa tragedi.
Mari bertaruh, berapa banyak dari kamu yang pernah mendengar
istilah Jugun ianfu? Aku pun begitu. Istilah Jugun Ianfu baru aku kenal kurang
dari 6 bulan ini. Ini istilah yang baru aku dapat ketika aku bergabung dengan
Komnas Perempuan. Jugun Ianfu merupakan praktik perbudakan seksual yang
dilakukan oleh militer Jepang saat mereka mengobarkan perang Asia Timur Raya
tahun 1931-1945.
Sebagaimana perang-perang atau konflik-konflik lainnya, kita
hanya tahu siapa yang menang dan kalah. Kita hanya tahu strategi kemenangan
yang ditulis oleh pemenang. Kita tidak pernah tahu narasi-narasi para perempuan
korban di daerah konflik. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Napoleon
Bonaparte, “Sejarah selalu ditulis oleh pemenang”. Tidak ada ruang bagi
masyarakat kecil untuk bercerita, apalagi perempuan korban. Mereka tidak pernah
diakomodir ruang bicaranya. Padahal narasi-narasi ini penting sebagai cerita
sejarah alternatif.
Kembali ke soal Jugun Ianfu. 28 Mei 2014 yang lalu, aku
diundang oleh teman-teman jaringan untuk datang menghadiri pemutaran film “Nyah
Kran di Gedung Papak”, yang diadakan di Aula Kantor Indonesia untuk Kemanusiaan,
jalan Cikini Raya no 43. Film itu bercerita tentang memori-memori Sri Soekanti
yang menjadi Jugun Ianfu saat 9 tahun! Bayangkan, anak umur 9 tahun diculik,
kemudian dijadikan budak seks para tentara-tentara Jepang!
Ada sekitar 200.000 perempuan di 8 negara yang dijadikan
Ianfu. Mereka dari Indonesia, Malaysia, China, Korea, Timor Leste, Philipina,
Taiwan, Belanda dan Jepang sendiri. Sederhananya begini, Waktu Jepang
menginvasi kawasan Asia, tidak hanya pasukan tentara Jepang saja yang dikirim,
tetapi juga para perempuan-perempuan yang dijadikan budak seks mereka selama di
medan perang. Sampai di kawasan Asia, mereka juga kemudian menculik para
gadis-gadis untuk dijadikan budak seks mereka selama perang berlangsung.
Sri Soekanti merupakan satu dari dua ratus ribu Jugun Ianfu.
Aku beruntung bisa bertemu beliau. Beliau kini berusia 81 tahun. Sekarang
sedang berada di Jepang, untuk memperjuangkan hak-haknya. Alat reproduksinya
rusak saat menjadi ianfu!
Pola-pola perempuan yang dijadikan budak seks hari ini
diartikulasikan lain. Sekarang-sekarang ini, banyak militer di daerah konflik
kemudian tidak lagi melakukan perbudakan seks, tetapi eksploitasi seksual. Aku
sewaktu menjadi relawan di KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran) mendapat banyak cerita tentang itu. Ada
seorang mama dari Sulawesi yang kini hamil dari tentara nasional kita yang pada
saat itu sedang bertugas mengamankan Sulawesi. Tentara itu memacari para
gadis-gadis desa. Mereka menawarkan rasa aman ditambah janji akan dinikahi.
Selesai berhubungan badan, tentara itu pun pergi kembali ke batalyonnya. Cerita
ini bukan hanya satu. Ada lagi cerita tentang seorang mama dari tanah Papua
yang juga menceritakan hal yang sama.
Perempuan dalam daerah konflik selalu menjadi pihak yang
kalah dan tidak pernah didengar ceritanya, ditambahkan lagi negara kita absen
atau lebih tepatnya sengaja absen! Mereka di Istana lebih senang mengurusi
pusat dengan segala mega proyek ketimbang masuk ke daerah-daerah konflik.
Temanku, seorang relawan dari Australia pernah bilang sejarah
itu bahasa Inggrisnya “History” yang dari kata His + Story yang artinya
ceritanya dia (laki-laki). Nah kan Gawat! Menurut kalian, gimana?
Komentar
Posting Komentar