Sisi Lain di Balik Megahnya Open House Istana

Antusiasme warga ingin bertemu Presiden
Siang itu, matahari tengah terik-teriknya menyinari kawasan silang Monas. Tampak seorang pria paruh baya tengah duduk di bawah pohon, mencoba berlindung dari sengat matahari. Pria paruh baya itu tengah menanti giliran untuk diangkut mobil polisi, guna bertemu bapak Presiden yang sedang menggelar open house.

Pria paruh baya itu bernama Supri. Pak Supri berusia 55 tahun, memiliki seorang istri yang ia cintai, dan 3 orang anak, buah cinta mereka. Sehari-hari, pak Supri memulung botol-botol bekas dan sampah plastik untuk ditukar dengan segenggam beras dan beberapa ribu rupiah. Hidupnya sangat sederhana, bila tidak mau dikatakan miskin. Namun, ia tetap bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi pendamping yang setia dan anak-anak yang selalu menyemangatinya.

Aku dan pak Supri
Sejak selasa kemarin, pak Supri telah tiba di ibu kota. Tujuannya satu, bertemu langsung dengan bapak Presiden. Tak kurang dari 80 kilometer, pak Supri tempuh dari gubuknya di Karawang. Tak banyak bekal perjalanan yang ia sediakan, hanya sehelai pakaian yang ia kenakan, dan dua potong roti serta ongkos ke Jakarta. Ketika ditanya soal ongkos pulang ke Karawang, pak Supri hanya menggeleng.

“Ongkos pulang nanti baru dipikirkan, setelah bertemu bapak Presiden. Syukur-syukur diberi ongkos oleh Presiden” ungkapnya penuh harap.

Sepanjang hidupnya, pak Supri belum pernah bertemu langsung dengan bapak Presiden. Bagi beliau, dan warga miskin lainnya, bisa bertemu dengan Presiden merupakan rezeki yang luar biasa, ibarat mendapat durian runtuh.

Beliau sempat bercerita, bahwa saat ini yang terpenting baginya adalah bisa bertemu dengan bapak Presiden untuk berkeluh kesah sekaligus meminta kesediaan bapak presiden untuk mendoakan anak-anaknya agar kelak berguna bagi bangsa seperti bapak Presiden.

para tuna netra
Lain pak Supri, lain pula pak Dedi. Pak Dedi, seorang tuna netra dari Bandung. Menempuh perjalanan panjang sejak subuh hanya untuk bersalaman dengan bapak presiden.


berdesak-desakan
Pak Supri dan pak Dedi, hanya segelintir dari sekitar empat ribu orang yang hadir sore itu. Sebuah angka yang melebihi prediksi panitia pelaksana. Setiap tahun jumlah masyarakat yang ingin bertemu langsung dengan bapak Presiden selalu meningkat. Desak-desakan dan saling sikut adalah pemandangan lumrah. Setidaknya hal ini menunjukkan apresiasi masyarakat terhadap Presiden, dan sudah sepatutnya presiden membalas apresiasi tersebut dengan membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat. (Elwi-Oranye Media Fikom Untar)

Komentar

  1. ya ampun sedih bacanya. :'(

    BalasHapus
  2. salut dengan Pak Supri, Pak Dedi, serta bapak-bapak dan ibu-ibu laiinya. disaat sebagian besar warga di negara ini meragukan (dan bahkan mencemooh) kinerja presiden kita, masih saja ada orang-orang yang bersikap sebaliknya. bahkan kegiatan bertemu dengan presiden dianggap sebagai suatu berkah yang sangat luar biasa. yang jadi ironis, bahwa ternyata yang masih menghormati presiden adalah orang-orang yang justru mengalami kesulitan, yang kata sebagian golongan masyarakat yang lain adalah orang-orang yang tertindas, dan lain sebagainya.

    bagus tulisannya. salam kenal.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan