Perspektif Pers, Editorial Harian Kompas & Seputar Indonesia

Perspektif dan pers merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Walau sama-sama berikrar janji untuk menyajikan berita yang berimbang dalam satu wadah bernama Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tetap saja kita sulit menemukan keberimbangan mutlak dalam suatu pemberitaan.

“Cover Both Side” yang selama ini didengung-dengungkan setiap insan pers sepertinya hanya ada di buku-buku pelajaran. Era kebebasan berpendapat seperti ini, sepertinya sudah melenceng jauh dari makna sesungguhnya, makna ketika pers itu masih terkukung dan terkubur dalam belenggu.

Dewasa ini, pers cenderung aktif menjadi pemain, mungkin sudah bosan hanya menjadi pengamat. Pers bahkan sudah mampu mengarahkan dan membentuk opini pemirsanya lewat pemberitaan yang berulang-ulang dalam bingkai bernama agenda setting dan farming.
Sebagai pilar keempat dalam era demokrasi seperti ini, pers jelas mempunyai potensi untuk membentuk karakter dari suatu objek dan mematrikannya di otak pemirsa. Hal inilah yang membuat banyak politisi atau lebih tepatnya politikus berusaha menguasai pers, bahkan ada yang menciptakan perusahaan persnya sendiri.

Selain itu, pers kini juga sudah beralih fungsi. Pers yang dikenal sebagai pencetak berita zaman dulu, kini lebih dikenal sebagai mesin pencetak uang. Pers sudah menjadi industri dan komoditi yang saling diperjualbelikan dan memperjualbelikan berita. Bahkan, pers sekarang sudah dirasuki mahzab-mahzab kapitalis. Hal inilah yang menyebabkan pers cenderung memilih dan memilah berita yang akan diterbitkan, dan bila kita berbicara mengenai hal ini, saya teringat dengan perkataan seorang teman lewat jejaring sosial, “berita positif tidak pernah seksi”

Hal ini diperburuk oleh mental para kuli tinta, sang ujung tombak pencari berita. Pernah suatu ketika, saya sedang mengikuti sebuah diskusi mengenai kredibilitas, dan profesionalisme jurnalis di dewan pers, saya tercengang ketika mendapati fakta bahwa lebih dari setengah jumlah jurnalis di Indonesia tidak atau belum mempraktikan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, dan tidak menempuh cara-cara profesional untuk mendapatkan suatu berita.

Saya mencoba meyakinkan diri bahwa masih ada pers, baik cetak maupun elektronik yang profesional dalam pencarian berita dan berimbang dalam pemberitaannya. Dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisa gaya penulisan dan sudut pandang dua koran nasional terbesar, yakni Harian Kompas, dan Seputar Indonesia.

Harian Kompas, sebagai koran nasional terbesar, dan selalu setia mengkritisi pemerintah sampai-sampai Dipo Alam, Sekretaris Kabinet menghimbau untuk melakukan aksi boikot terhadap koran ini, sepertinya masih konsisten mengkritisi pemerintah.

Hal ini dapat dilihat dari Tajuk Rencana harian Kompas edisi 23 Februari 2011. Kompas memberi judul, “Pepesan Kosong di Mana-mana”. Editorial ini memuat tentang pidato pembukaan rapat kerja pemerintah dengan gubernur, dan pimpinan BUMN di Istana Bogor, 21 Februari kemarin.

Di bagian awal editorial, Kompas menulis kritikan presiden SBY terhadap kemacetan yang terjadi di ibu kota. Faktor-faktor yang memperburuk lambatnya pembangunan transportasi di ibu kota juga disebutkan dengan cukup jelas di bagian ini.

Di bagian tengah, Kompas turut mengkritik pemda DKI yang dinilai tidak sehati antara janji dan prestasi. Bila kita berhenti membaca sampai pada bagian tengah ini, kita tentu akan menemukan fakta bahwa Kompas mendukung apa yang dilakukan pemerintah pusat, melemparkan tanggung jawab kepada pemda untuk mengatasi kemacetan yang ada.

Namun, bila kita terus membaca sampai akhir, kita akan menemukan bahwa ternyata Kompas masih setia mengkritisi pemerintah pusat. Di Bagian akhir, Kompas memunculkan satu pertanyaan, “Kalau kelambanan birokrasi terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah lain, bukankah itu menunjukkan kelambanan birokrasi pemerintahan Yudhoyono”, alias pepesan kosong ada di mana-mana.

Berbicara mengenai gaya penulisan Kompas, saya teringat perbincangan dengan salah satu senior saya di kampus, dia kurang lebih mengatakan seperti ini, “Gaya penulisan Kompas itu ibarat gaya jalan kepiting, Kompas koran yang kritis, tapi apabila kekritisannya itu berbenturan dengan tembok tirani, maka Kompas akan mundur teratur, sembari menunggu. Bila keadaan sudah normal kembali, naluri kristisme Kompas akan muncul kembali, dan bila bertemu dengan tembok lagi, Kompas akan mundur teratur dan inilah yang menyebabkan Kompas tumbuh, besar, dan masih eksis sampai sekarang.”

Saya rasa apa yang senior saya katakan itu ada benarnya, Editorial di atas contohnya. Di bagian awal, Editorial Pepesan Kosong di Mana-mana ditulis dengan cukup santai dan jernih. Di bagian tengah, sudah mulai sedikit api kritisme dinyalakan dan di bagian akhir, ditutup dengan sebuah sentilan pertanyaan kritis untuk pemerintah pusat.


“Lain ladang, lain ilalangnya, lain lubuk, lain ikannya”
Mungkin itu pribahasa yang tepat untuk menganalogikan perbedaan yang ada dalam media massa dalam melihat suatu peristiwa yang ada. Lain Kompas, lain pula Seputar Indonesia (Sindo).

Sindo yang berdiri 30 juni 2005 ini merupakan koran yang tergabung dalam MNC Grup. MNC Grup merupakan sebuah konglomerasi di bidang pemberitaan meliputi RCTI, MNC TV, Global TV, Trijaya FM, dan Okezone.com . Grup ini juga dikenal milik kelompok pengusaha.

Imbasnya, berita-berita yang diterbitkan cukup manis dalam pemilihan kata. Bisa kita lihat dari Editorial Sindo edisi 23 Februari 2011. Editorial yang juga membahas mengenai rapat kerja pemerintah ini diberi judul Kritikan Presiden SBY.

Kata-kata yang ditulis cukup manis dan lembut. Sama seperti Kompas, Sindo juga menulis hal-hal umum di awal bagian editorialnya. Bedanya adalah Sindo lebih banyak membahas mengenai makna dibalik kritikan pak presiden terhadap kinerja pemda DKI.

Tidak hanya itu, Sindo juga menawarkan solusi bagi pemda DKI agar mencontoh sistem transportasi di kota Solo. Tidak ketinggalan, Medan, Surabaya dan Bandung juga diperingatkan tentang masalah kemacetan di bagian tengah editorial.

Paragraf penutup dirangkai dengan sangat-sangat manis. ”Bukan waktunya, untuk saling menyalahkan, tapi harus saling mengingatkan”. Walau dihiasi kata-kata manis, Sindo juga memberi tanda kutip pada kalimat, selama ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, terkesan pintar membuat rencana, dan lemah dalam implementasi. Saya rasa ini merupakan sebuah kritikan yang cukup pedas, walau tak sepedas yang ditulis di Harian Kompas yang dengan gamblang menyebut Pepesan Kosong di Mana-mana.

Akhir kata, Media tidak akan pernah luput dari perspektif dan gunakanlah media dengan sebaik-baiknya.




*******************
Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Editorial & Penulisan Berita di Fikom Untar. Saya sangat megharapkan segala kritikan dan masukan agar tulisan ini lebih baik lagi.

Komentar

  1. wah tulisanmu kritis dan berat sekali ya po. cocok deh masuk jurnalis, gak kayak tulisan gue yang acak-acakan huahaa =))

    btw kalimat : "selama ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, terkesan pintar membuat rencana, dan lemah dalam implementasi" itu bener banget, gue sangat teramat setujuuuuu!

    btw mari kita buktikan rencana si kumis soal pembangunan MRT, apa proyeknya bakal jadi? atau cuman jadi seonggok bangke? pretlah. pembangunan MRT gak bakal mengurangi kemacetan kalo disini aje mobil-motor bisa gampang dibeli secara kredit *sigh*

    ah udah ah, ngomongin pemerintah ga bakal matinye hahaha =))

    BalasHapus
  2. Mega proyek Busway sama MRT itu bertujuan untuk mindahin orang-orang yang biasanya naik mobil sendiri jadi naik kendaraan umum. .

    Masalahnya adalah ternyata yang naik busway selama ini ya orang-orang yang biasanya naik kendaraaan umum juga, orang-orang bermobil tetep aja naik mobil, hahaa. .

    Soal MRT itu 2016 baru mau diaplikasikan, tentunya bukan masanya pak kumis lagi. . hehe. .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan